Kisah Lindawati Kwa Penyandang Tunanetra Gapai Pendidikan Hingga ke Australia
Sebagai anak ke-2 dari 4 bersaudara, saya selalu dididik setara dengan saudara-saudara saya
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – ‘Segan bergalah, hanyut serantau’ atau ‘malas berusaha maka mundurlah dalam penghidupan.’
Iya, pepatah tersebut menjadi prinsip yang dijalankan oleh Lindawati Kwa, yang menyandang tunanetra sejak lahir.
Meski memiliki kekurangan, Linda, begitu ia akrab disapa, sedari kecil telah dididik kedua orang tuanya untuk tak berpangku tangan, tak gentar menjalani hidup dan memiliki cita-cita.
“Sebagai anak ke-2 dari 4 bersaudara, saya selalu dididik setara dengan saudara-saudara saya, Makanya ketika SMA, saya dimasukkan ke sekolah integrasi (kini sekolah inklusi),” tutur perempuan asal Medan itu seperti dikutip dari Australia Plus, Sabtu (2/7/2016).
Didikan dan prinsip hidupnya membuatnya terus mengejar pendidikan tinggi sedari kecil.
Linda pun mendapat kesempatan belajar ke Australia lewat program beasiswa kursus singkat Australia Awards, pada tahun lalu.
Jauh sebelum itu perempuan berambut pendek ini--dengan berbagai tantangan yang sempat menghampirinya, pada 2002, berhasil mengeyam kuliah di Universitas Negeri Medan jurusan Sastra Inggris.
“Ketika saya awal mau kuliah dulu, banyak pihak kampus yang menanyakan kesungguhan saya dan teman-teman penyandang disabilitas lain untuk berkuliah. Banyak pihak khawatir kuliah justru membebani kami,” ujarnya.
“Tapi syukurlah, sekarang kondisinya sudah jauh berbeda. Sudah banyak pihak kampus yang memberi tangan terbuka kepada penyandang disabilitas seperti saya,” kata perempuan yang aktif bergabung di Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) sejak tahun 2009.
“Awalnya saya ditawari pengurus pusat di Jakarta, kemudian saya melamar, mengisi form aplikasi, menjalani seleksi dan lantas terpilih untuk mengikuti kursus singkat ‘Kepemimpinan dan Manajemen Organisasi’ di Sydney selama 2 minggu,” ujar sekretaris PERTUNI ini.
“Itu pertama kalinya pula saya berkunjung ke Australia,” akunya.
Pelajaran dari Australia
Linda menilai banyak hal dari kehidupan disabilitas Australia yang bisa dipelajari dan diterapkan di Indonesia, selain masalah aksesibilitas.
“Aduh banyak sekali yang bisa kita pelajari dari sana. Mulai dari hal-hal kecil saja, dari budaya. Masyarakat di sana sudah paham tentang disabilitas, sementara di Indonesia, masih banyak yang belum mengerti tentang apa itu penyandang disabilitas, jangan dulu bicara soal fasilitas” ujarnya kepada Australia Plus melalui sambungan telepon.
Ia lantas mencontohkan, misalnya saja di jalanan.
"Saya kan tunanetra total ya, masih ada saja orang yang tak peduli dengan saya, kami, penyandang disabilitas. Tidak membantu kami ketika menyeberang jalan, atau jarang sekali saya temukan orang yang menggandeng kami ketika menyeberang, atau memberi tahu kami kalau lampunya sudah hijau,” ujarnya.
Meski demikian, Linda tak memungkiri, kondisi itu tetap terjadi sebagian karena perilaku penyandang disabilitas sendiri yang masih suka mengurung diri.
Ya memang, menurutnya, semua itu ada peran dari kaum disabilitas sendiri.
"Makanya, ayolah kawan-kawan, ayo keluar, tunjukkan diri kalian, terlibat dalam berbagai aktivitas, biarkan masyarakat tahu keberadaan kita, sehingga mereka terbiasa,” harap Lindawati Kwa.
“Siapa tahu dengan tindakan kecil seperti itu, kita di sini bisa mengejar ketertinggalan dari penyandang disabilitas di Australia,” kata gadis Medan ini.
Kursus manajemen organisasi di Sydney membuat Linda paham akan perlunya perubahan visi dalam pengelolaan penyandang disabilitas.
“Selama ini, banyak organisasi yang mewadahi penyandang disabilitas masih fokus pada charity (amal). Menurut saya, sudah nggak masanya kita selalu melakukan charity. Seharusnya, organisasi bisa lebih fokus pada pengembangan pribadi, banyak memiliki program pendidikan. Karena itu yang penting, dan di masa depan bisa membantu kehidupan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Tak hanya itu, kunjungan ke Australia juga memberi Linda pengalaman unik yang selalu membuatnya tersenyum ketika mengingatnya.
“Jadi waktu kami pergi ke sana itu, ada 24 orang. Hanya 4 saja yang non-disabilitas, sisanya disabilitas. Ada yang pakai kursi roda, ada yang pakai tongkat, ada yang seperti saya. Selama perjalanan dan selama di Australia, lucunya kami saling bantu, jadi bayangkan orang buta membantu tuna daksa dan sebaliknya,” ucapnya.