KPK Bidik Hakim dalam Suap Panitera
Santoso disangka Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengembangkan kasus operasi tangkap tangan Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Santoso.
Pengembangan tersebut diarahkan kepada majelis hakim mengingat suap 28 ribu Dolar Singapura yang diterima Santoso terkait putusan perkara perdata PT Kapuas Tunggal Persada sebagai tergugat melawan PT Mitra Maju Sukses.
"Sedang dilakukan pengembangan. Anggota kita juga masih di lapangan. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Sabtu (2/7).
Menurut Basaria, keterlibatan hakim juga bisa ditelusuri nantinya dari pemeriksaan saksi-saksi dari pihak berperkara terutama pihak yang menang atau pihak yang disangka sebagai penyuap.
Walau demikian, Basaria mengaku hingga saat ini penyidik belum bisa memastikan uang tersebut untuk hakim.
"Sampai saat ini kita belum bisa mengatakan iya. Kalau pengembangan masih dilakukan sampai sekarang," tukas Basaria.
KPK telah menetapkan Santoso sebagai tersangka. Dalam pasal yang disangkakan, peran serta pihak lain terlihat dari pasal Pasal 55 yang di-juncto-kan kepada Santoso. Diduga uang tersebut memang tidak hanya untuk Santoso. Pasalnya, uang tersebut dibagi ke dalam dua amplop. Satu amplop berisi 25 ribu dolar Singapura sementara satu amplop lainnya berisi 3 ribu dolar Singapura.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan tiga tersangka yakni Santoso, dan dua orang sebagai pihak pemberi Ahmad Yani dan Raol Adhitya Wiranatakusumah. Ahmad adalah staf di kantor hukum Wiranatakusumah Legal & Consultant sementara Raol adalah pengacara di kantor tersebut.
Santoso disangka Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana sementara Ahmad dan Raol disangka Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b dan atau Pasal 13 Undang-Undang tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Hingga kemarin, KPK juga masih mencari keberadaan Raol Adhitya Wiranatakusumah. Raol adalah pengacara yang menyuap Santoso. Berdasarkan informasi yang dihimpun Tribun, Raol telah berada di luar negeri.
Raol diperkirakan meninggalkan Indonesia sebelum KPK menangkap Santoso di Matraman, Kamis lalu. Saat itu, Santoso sedang dalam perjalanan usai menerima 28 ribu Dolar Singapura dari Ahmad Yani. Ahmad adalah orang suruhan Raol yang juga staf di kantor hukum Wiranatakusumah Legal & Consultant.
Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Dio Ashar Wicaksana menilai pembentukan Satgas Khusus Pengawasan oleh Mahkamah Agung tidak bisa menjadi solusi dalam mereformasi lembaga peradilan.
Menurut Dio, pembentukan satgas tersebut menampakan bahwa MA melihat rangkaian kasus suap yang melibatkan pejabat pengadilan sebagai persoalan kasus per kasus, bukan masalah struktural yang perlu diselesaikan.
"Itu mencerminkan perspektif MA dalam melihat rangkaian permasalahan tidak komprehensif. Kami menolak Satgas Pengawasan yang didiirikan oleh MA," ujar Dio.
Lebih jauh Dio menuturkan, MA sebaiknya tidak menutup diri dan menunjuk pihak-pihak di internal yang tidak diketahui rekam jejaknya oleh publik untuk melakukan pengawasan.
MA harus mulai menyadari perlunya pelibatan lembaga lain untuk menciptakan sebuah sistem pengawasan yang ideal dan komprehensif.
Dalam mendesain pengawasan terhadap hakim, kata Dio, seharusnya MA mengikutsertakan peran Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan masyarakat sipil.
Menurut Dio pelibatan ini penting untuk menjaga akuntabilitas sistem pengawasan yang dilakukan oleh MA. "Momentum rentetan kasus suap ini seharusnya menyadarkan MA. MA harus mau membuka diri untuk bekerja sama dengan lembaga lain. Pelibatan lembaga lain ini penting agar prinsip akuntabilitas tetap terjaga," kata Dio.
Sebelumnya, Dio mengungkapkan bahwa MA telah membentuk satuan tugas khusus pengawasan yang bertugas mengawasi proses penanganan perkara. Pembentukan satgas tersebut dilakukan MA untuk merespons rentetan kasus suap yang melibatkan pejabat pengadilan. (kompas.com/tribunnews/eri)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.