'Saatnya Diplomasi Senjata Atasi Pembajakan'
Seakan Warga Indonesia dianggap sasaran empuk yang mudah diculik oleh kelompok penyadera.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Prihatin penyanderaan warga negara Indonesia (WNI) kembali terjadi. Terakhir, tiga anak buah kapal (ABK) Indonesia di perairan Felda Lahad Datu Malaysia sungguh memprihatinkan.
Seakan Warga Negara Indonesia (WNI) dianggap sasaran empuk yang mudah diculik oleh kelompok penyadera.
Untuk itu Pengamat terorisme UI Ridlwan Habib tegaskan, sudah saatnya Indonesia lebih tegas. Yakni mendesak Filipina mengijinkan TNI melakukan operasi pembebasan.
"Sudah cukup soft diplomacy. Kelompok Abu Sayyaf mengingkari perjanjian, saatnya diplomasi senjata, " ujar alumni S2 Intelijen UI tersebut ketika dihubungi Tribun, Senin (11/7/2016).
Apalagi saat ini imbuhnya Presiden Filipina yang baru, Rodrigo Duterte lebih tegas terhadap kelompok bersenjata.
"Ini sudah dalam batas tak bisa ditoleransi. Sudah saatnya operasi militer, "kata Ridlwan
Lebih lanjut ia menjelaskan Wilayah Lahaddatu itu. Wilayah itu masuk Sabah, namun berbatasan dengan kawasan Sulu Filipina.
"Warga Sulu banyak bermukim disana, "ujar pengamat terorisme UI Ridlwan Habib di Jakarta Senin 11 Juli.
Pada tahun 2013, Ridlwan pernah meneliti gerilyawan Sulu yang tinggal di Lahaddatu. Saat itu terjadi perang Daulat antara tentara Malaysia dengan gerilyawan Sulu.
Sebelum penyanderaan tiga WNI, tujuh anak buah kapal (ABK) WNI lebih dulu disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Sulu, Filipina Selatan.
Penyanderaan itu terjadi pada Senin (20/6/2016). Selain membajak kapal, penyandera meminta tebusan sebesar Rp 60 miliar.
Sebelumnya, 10 WNI ABK kapal tunda Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf dan dibebaskan pada awal Mei 2016.
Selain itu, empat ABK kapal tunda Henry juga disandera kelompok yang sama. Keempatnya dibebaskan pada pertengahan Mei 2016.