Polri Diharap Ungkap Aktor Penggerak Kerusuhan di Tanjung Balai
Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai merupakan ekspresi intoleransi dan kekerasan yang tidak semestinya terjadi.
Penulis: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai merupakan ekspresi intoleransi dan kekerasan yang tidak semestinya terjadi.
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan memang pemicunya sederhana yakni protes warga atas pengeras suara dari sebuah tempat ibadah.
"Tetapi soal sepele yang terjadi di tengah masyarakat yang kurang toleran maka berbalas kerusuhan, apalagi diduga kuat terdapat sejumlah aktor yang memprovokasi," katanya dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (30/1/2016).
Dikatakannya, Setara Institute mengutuk keras tindakan pembakaran sejumlah tempat ibadah tersebut.
Ia pun menganggap Polri telah mengambil langkah tepat dengan mempertemukan tokoh-tokoh agama dan memulihkan situasi menjadi lebih kondusif dalam peristiwa tersebut.
"Apalagi FKUB Sumut (Sumatera Utara) dalam catatan Setara Institute adalah salah satu FKUB berkinerja baik dalam memajukan toleransi," katanya.
Lanjutnya, langkah tersebut saja belum cukup.
Polri diharapkan dapat mengungkap aktor penggerak kerusuhan tersebut.
Ia pun mengimbau masyarakat tidak mudah terprovokasi untuk melakukan aksi-aksi intoleran dan kekerasan lanjutan.
"Peristiwa tersebut memberikan pembelajaran bagi semua pihak, bahwa kondisi intoleransi di tengah masyarakat semakin meningkat," katanya
Berbagai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang terus terjadi mengkonfirmasi status toleransi masyarakat yang semakin menipis.
Ia mengintakan pemerintah harus mengambil langkah mendasar dalam merespons seluruh peristiwa pelanggaran yang terus terjadi.
"Tidak hanya reaktif dalam peristiwa aktual seperti pemadam kebakaran. Pemerintah hanya riuh saat peristiwa terjadi," ucapnya.
Kata dia, Kementerian Agama dan Kemendagri memegang peranan kunci mengelola hubungan antar agama, meningkatkan toleransi, dan menghapus praktik diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan.
"Hampir dua tahun menjabat, Tjahjo Kumolo dan Lukman Hakim Saefudin, belum menunjukkan langkah dan kebijakan yang mendasar, berbasis fakta, komprehensif dan berdasar pada Konstitusi RI," katanya.