Kebijakan Kementerian ESDM di Bawah Arcandra Dianggap Cacat Hukum
Salah satunya, produk hukum Kementerian ESDM di bawah kepemimpinan Arcandra akan cacat hukum.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly disebut telah menghancurkan paham hukum dengan menyebut status Warga Negara Indonesia (WNI) mantan Menteri ESDM, Arcandra Tahar belum dicabut meskipun telah memiliki paspor dan menjadi warga negara Amerika Serikat.
Pernyataan Yasonna tersebut bertentangan dengan Pasal 23 huruf a UU Nomor 12 tahun 2006 dan Pasal 31 ayat (1) PP nomor 2 tahun 2007 yang menyatakan status WNI gugur secara otomatis jika seorang WNI menyatakan sumpah setia kepada bangsa asing.
"Penjelasan Yasonna sebagai Menkumham yang menyatakan bahwa meski Arcandra Tahar memiliki Paspor Amerika dan menjadi Warga Negara Amerika akan tetapi karena status WNI nya belum dicabut secara formal maka Archandra masih sebagai WNI. Penjelasan ini membubarkan hukum dari seorang menteri hukum. Yasonna Menteri Hukum yang menghancurkan paham hukum," kata Ferdinand Hutanen, Direktur Energy Watch saat dihubungi wartawan, Selasa (16/8/2016).
Ferdinand menegaskan, pengangkatan Arcandra sebagai Menteri ESDM merupakan sebuah pelanggaran hukum yang secara sadar dan memiliki konsekuensi hukum yang tidak ringan.
Salah satunya, produk hukum Kementerian ESDM di bawah kepemimpinan Arcandra akan cacat hukum.
"Resiko yang sesungguhnya terlalu mahal dan tidak sebanding dengan kehebatan Arcandra Tahar yang katanya orang hebat itu," katanya.
Menurut Ferdinand, Yasonna seharusnya tidak boleh melindungi dengan berdalih bahwa status WNI Arcandra belum dicabut secara formal.
Menurut Ferdinand, penjelasan Yasonna mengindikasikan pemerintah yang sibuk merancang ketidakjujuran demi membenarkan sebuah tindakan yang jelas menyalahi hukum di Indonesia. Sebagai Menkumham, Yasonna seharusnya menegakkan UU dengan menetapkan bahwa Arcandra telah kehilangan status WNI.
"Bukan malah menyiasati hukum agar tidak terjadi penegakan hukum," katanya.
Tanpa mencabut status WNI Arcandra, Ferdinand menilai pemerintah telah melakukan standar ganda dalam kasus kewarganegaraan.
Dirinya juga membandingkan skandal Arcandra dengan seorang pelajarbernama Gloria yang batal dikukuhkan sebagai Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Istana Negara dengan alasan memiliki dua kewarganegaraan.
Padahal, kata Ferdinand, Gloria yang belum genap berusia 18 tahun masih berhak menentukan pilihan kewarganegaraannya mengikuti sang Ibu yang WNI atau ayahnya yang disebut berkewarganegaraan Prancis.
"Sungguh sangat perlakuan standar ganda dari pemerintah yang tidak patut," katanya.