Kasus Gubernur Sultra Harusnya Dikoreksi PTUN bukan Pengadilan Tipikor
Apabila tidak melalui PTUN dan merupakan pidana lanjut Margarito maka bisa jadi banyak pejabat harusnya ditangkap
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus perizinan usaha tambang nikel yang menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam bisa dikoreksi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kebijakan dihasilkan oleh pengambil kebijakan yang dianggap melampaui kewenangan, kekeliruan menunjuk fakta, menyalahi wewenang, atau menggunakan dasar hukum yang tidak kuat merupakan subyek PTUN. Sehingga koreksi atas kebijakan tersebut dilakukan oleh PTUN," ujar Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis dalam pernyataannya, Rabu(7/8/2016).
Apabila tidak melalui PTUN dan merupakan pidana lanjut Margarito maka bisa jadi banyak pejabat harusnya ditangkap.
Hal tersebut bisa merujuk pada pasal 53 ayat 2 UU 5 tahun 1986 tentang PTUN.
Margarito mengatakan saat ini lebih dari 3966 kebijakan yang merupakan izin bermasalah.
Apabila penyalahgunaan wewenang merupakan kompetensi pidana, maka akan banyak kepala daerah yang menjadi tersangka.
“Apabila kebijakan yang tersebut bermasalah maka harus di PTUN-kan sehingga bisa dilakukan koreksi kebijakan dan bukannya dibawa ke tipikor," ujar Margarito.
KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka atas dugaan melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sultra, selama 2009 hingga 2014.
Nur Alam diduga melakukan penyalahgunaan wewenang sehingga memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi, dengan menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi.
Selain itu, penerbitan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB), selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
Penyidik KPK menduga Nur Alam menerima pemberian dari pihak swasta dalam setiap penerbitan izin pertambangan yang dikeluarkan tanpa mengikuti aturan yang berlaku.
“Kompetensi pidana hanya bisa digunakan apabila pembuat kebijakan menerima suap,” ujar Margarito. “Namun, permasalahannya terletak pada suapnya dan bukan pada kebijakannya,” imbuhnya.