Cerita Iswanto Korban Bom Kuningan Alami 38 Luka Hingga Dioperasi Menteri Kesehatan
"Saya tidak bermaksud menguak luka lama ini, tapi sudah suratan bagi saya, kejadian itu tidak dapat dilupakan,"
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Iswanto (42) merupakan seorang korban selamat dalam tragedi bom Kuningan di kantor Kedubes Australia.
Meski telah 12 tahun berlalu, ia mengaku tidak bisa melupakan kejadian nahas tersebut.
"Saya tidak bermaksud menguak luka lama ini, tapi sudah suratan bagi saya, kejadian itu tidak dapat dilupakan," ujar Iswanto, saat peringatan 12 tahun tragedi bom Kuningan (Kedubes Australia), di Slipi, Jakarta, Sabtu (10/9/2016).
Pria yang sudah dikaruniai dua anak tersebut bekerja sebagai petugas keamanan di Kedubes Australia.
Ia mengaku kejadian tersebut membekas sangat dalam.
Bagaimana tidak, ledakan bom itu menyebabkan satu matanya tidak lagi berfungsi.
"Bagaimana sakitnya menjadi korban bom, dicap korban bom dan kecacatan yang dialami seumur hidup," katanya.
Dalam peringatan tragedi yang diisi dengan silaturahmi antara keluarga korbam Bom Kuningan itu, Iswanto kemudian bercerita kembali mengenai detik-detik meledaknya bom pada 9 September 2004 lalu.
Menurut Iswanto Kamis pagi saat itu, ia berangkat kerja seperti biasanya.
Tanpa ada firasat apapun, ia bertugas berjaga di sisi luar Kedubes.
Ia berjaga di bagian luar gerbang Kedubes untuk memamntau lalu lintas sekitar.
Namun, sekitar pukul 10.30 WIB, tiba tiba mobil box datang mendekati kantor dan hendak menuju halaman Kedubes.
Lantaran hendak masuk ke dalam, mobil itu kemudian diarahkan ke samping jalan untuk diperiksa terlebih dahulu oleh dirinya.
"Namun baru saja tiga langkah, tiba-tiba bom meledak," katanya.
Setelah ledakan tersebut dirinya tidak tahu apa yang terjadi, sebelum kemudian ia terbangun dengan pandangan gelap.
Saat itu Iswanto mengaku hanya mendengar jeritan minta tolong dimana-mana.
Mencoba berdiri dengan meraba karena pandangannya gelap Iswanto kemudian memegang seluruh tubuhnya yang penuh luka dengan pakaian yang dikenakan telah compang-camping.
"Saya belum menyadari mata saya tidak bisa melihat, saya hanya merasa mata saya panas," katanya.
Satu jam kemudian ia mendapat pertolongan pertama dengan dibawa ke rumah Sakit MNC.
Namun, begitu tiba di rumah sakit, ia mengaku terlantar lantaran saking banyaknya pasien akibat bom saat itu.
Ia duduk di lorong dengan harapan cepat dipanggil dokter ataupun suster.
Setelah menunggu lama tidak juga mendapat repon dari petugas.
Ia kemudian menarik rok suster yang lewat didepannya.
Rok suster tersebut ditarik hingga terjatuh di depannya.
Saat suster tersebut melihat yang menarik roknya adalah korban bom dengan luka parah, akhirnya kemudian ia ditangani.
"Bapak ingat saudara bapak? ingat nomor telepon? Saya jawab, saya ingat," katanya.
Lantaran peralatan tidak memadai, Iswanto kemudian dirujuk ke Rumah sakit Aini.
Di rumah sakit tersebut ia kemudian di rontgen.
Setelah diperiksa, Iswanto kemudian kembali dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Di rumah sakit pusat tersebut ia mengaku baru ditangani secara serius.
"Dari Cipto (RSCM) kemudian diketahui terdapat 38 titik luka disekujur tubuh saya," katanya.
Salah satu titik organ yang mengalami luka parah yakni mata.
Sehingga malam harinya harus dilakukan operasi.
Iswanto ingat betul yang melakukan operasi adalah Nila Moeloek yang kini menjabat Menteri Kesehatan.
"Beliau yang melakukan operasi, ia bilang cukup parah dan mengatakan mata saya tidak akan berfungsi baik," katanya.
Setelah dioperasi di RSCM beberapa hari kemudian, ia di pindahkan ke rumah sakit Medistra.
Setalah mulai pulih, ia kemudian kembali dioperasi lantaran masih ada serpihan logam di mata sebelah kanan.
"Kurang lebih saya dirawat satu bulan lima hari," paparnya.
Pengobatan dan penyembuhan tidak berhenti disitu saja.
Iswanto mengaku harus mengikuti konsultasi pemulihan psikologis selama enam bulan.
"Sebagai seorang korban, saya harus bangkit tidak terpuruk, kehidupan harus berjalan membesarkan anak-anak, itu motivasi saya untuk sembuh," katanya.
Bersyukur, Iswanto kini masih bekerja di Kedubes Australia.
Setelah semua pengobatan ditanggung pihak Australia, sejak 2007, pihak Kedubes mengangkatnya sebagai seorang staf.
"Bersukur saya pihak Kedubes masih memberdayakan kami," katanya.