Margarito Kamis: Nur Alam Ajukan Praperadilan, KPK Harus Tunda Periksa Saksi
sebaiknya KPK menghentikan sementara pemeriksaan saksi terkait kasus Nur Alam itu.
Penulis: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tersangka Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan persetujuan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayahnya periode 2008-2014.
Oleh karena itu sebaiknya KPK menghentikan sementara pemeriksaan saksi terkait kasus Nur Alam itu.
“Karena Nur Alam mengajukan gugatan praperdilan, saya kira lebih bijak KPK menghentikan sementara pemeriksaan saksi, sambil menunggu hasil atau putusan praperadilan itu,” ujar pakar hukum tata negara Margarito Kamis, Selasa (27/9/2016).
Margarito menambahkan, dalam proses penegakan hukum, KPK harus menghormati upaya hukum yang tengah ditempuh Nur Alam yakni gugatan praperadilan yang didaftarkan pada 16 September lalu.
Seperti diberitakan, pada Selasa ini, KPK memanggil lima orang saksi untuk dimintai keterangan.
Mereka yakni, Widdi Aswindi, Edy Janto, Mochamad Junus, Hasmir, keempatnya pekerja swasta dan Ridho Insan PNS Sekda Provinsi Sultra.
Nur Alam resmi ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap dalam pemberian IUP di Provinsi Sultra tahun 2009-2014 pada 23 Agustus 2016 lalu.
Nur Alam diduga menerima suap dari SK izin tambang yang dia terbitkan.
Sejumlah SK yang diterbitkan oleh Nur Alam ini dalam kurun 2009-2014, di antaranya SK Persetujuan Percadangan Nilai pertambangan, Persetujuan IUP, Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi Usaha Pertambangan Operasi Produksi.
Sebelumnya Margarito menyatakan kepada pers, dalam kaitan SK Izin Usaha Pertambangan yang bermasalah sejauh hal itu tidak ada bukti suap, maka tidak ada sanksi atau tindak pidana.
Penerbitan IUP yang tidak sesuai fakta, salah menunjuk lokasi ataupun bertentangan dengan UU, maka sanksinya hanyalah administrasi, bukan pidana.
Dan koreksinya, melalui Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN, bukan KPK.
“Hal ini bisa berubah menjadi pidana, jika ada atau ditemukan bukti suap. Jika tak ada suap, seluruh ahli hukum di mana pun akan menyatakan bahwa semua itu hanyalah kesalahan administrasi belaka. Sebaliknya jika ada suap dan itu pidana, ya tangkap yang bersangkutan ,” ujar Margarito.