Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Usulan Novanto Jabat Kembali Posisi Ketua DPR Ganggu Citra Parlemen

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan memulihkan nama baik Politikus Golkar Setya Novanto.

Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Usulan Novanto Jabat Kembali Posisi Ketua DPR Ganggu Citra Parlemen
Tribunnews.com/Amriyono Prakoso
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (28/7/2016). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Hanura bereaksi atas usulan Setya Novanto menjabat kembali Ketua DPR.

Hal itu terkait keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang memutuskan untuk memulihkan nama baik Ketua Umum Golkar itu terkait kasus 'Papa Minta Saham'.

"Tidak tepat, akan muncul pro dan kontra yang kemudian mengganggu citra DPR," kata Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana melalui pesan singkat, Jumat (30/9/2016).

Ia menuturkan dasar rehabilitasi Novanto terkait keabsahan alat bukti. Padahal, proses MKD adalah persoalan pelanggaran etika.

Kemudian Setya Novanto sendiri mengakui bahwa pertemuan itu ada. Pertemuan yang dimaksud Dadang terkait dengan kasus 'Papa Minta Saham'.

Dimana Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR melakukan pertemuan dengan pegusaha Riza Chalid serta petinggi Freeport Maroef Sjamsoeddin.

Berita Rekomendasi

"Kalau terjadi pergantian ketua, maka rakyat tentu akan melihat DPR sebagai tempat berebut kekuasaan semata. Citra DPR akan terpuruk," kata Anggota Komisi X itu.

Diketahui, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan memulihkan nama baik Politikus Golkar Setya Novanto.

Keputusan tersebut diambil dalam rapat yang digelar MKD DPR Selasa 27 September 2016.

"Iya sudah kemarin. Jadi memang ada rapat di MKD menindaklanjuti permohonan Pak Setnov ke MKD untuk peninjauan kembali (PK) terhadap proses persidangan yang dilakukan MKD. Atas pengaduan SS (Sudirman Said) dengan bukti rekaman," kata Wakil Ketua MKD Sarifuddin Sudding ketika dikonfirmasi, Rabu (28/9/2016).

Sudding mengatakan putusan tersebut dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa bukti rekaman tidak bisa dijadikan alat bukti.

"Rekaman itu tidak sah dan tidak mengikat," kata Politikus Hanura itu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas