HS Dillon: Kasus Munir dan Timor Timur Selalu Dilarikan ke Kriminal
HS Dillon (71), tokoh Hak Asasi Manusia Indonesia mengungkapkan kasus Munir dan Timor Timur selalu dilarikan ke kriminal, bukan ke pelanggaran berat.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Tokoh Hak Asasi Manusia Indonesia, HS Dillon (71), mengungkapkan kasus Munir dan Timor Timur yang sebenarnya merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM), selalu dilarikan ke kriminal, bukan ke pelanggaran berat kemanusiaan (HAM).
"Kalau mau menangani kasus Munir ya harus benar-benar retrial, dibuka kembali keseluruhan. Ini yang selalu jadi masalah. Penemuan pelanggaran berat di bidang HAM selalu dijadikan pidana kriminal biasa, dikerdilkan pihak kejaksaan," demikian ungkap Harbrinderjit Singh Dillon atau HS Dillon (71) tokoh Hak Asasi Manusia Indonesia dan ekonom serta pengamat pertanian kelahiran Medan khusus kepada Tribunnews.com, Jumat (14/10/2016).
Dicontohkan pula kasus-kasus pembantaian di Timtim.
"Itu Disgrace (memalukan). Para pembantai tidak dihukum. Padahal mereka tak bisa bergerat tanpa dukungan militer Indonesia. Saya sampai sekarang merasa tak tahu lagi bagaimana cara minta maaf kepada orang Timor tersebut," tambahnya.
Para milisi yang dibentuk militer Indonesia menurutnya datang ke tempat Dillon seperti Eurico Guterres.
"Dia bilang begini kepada ku. Saya juga bagian dari fretilin dulu, saya bantu Indonesia tapi saya kalian korbankan," ungkap Dillon.
Dillon melihat mestinya secara umum Wiranto lah yang bertanggungjawab terhadap kasus Timtim.
"Wiranto punya common responsibility. Bahkan saya pernah satu jam bicara dengan Mgr Bello menceritakan segalanya kepada saya," kata Dillon.
Wiranto menyalahkan dan menjatuhkan kesalahan kepada bawahannya yaitu Panglima Udayana Mayjen Adam Damiri.
"Saya pernah ketemu Wiranto saya tanya begini. Where is The bug stop? Dia mengarahkan ke bawahannya Damiri. Menurut saya Wiranto tak punya jiwa prajurit, apalagi jiwa perwira," kata dia.
"If you pick brother against brother, If you let blood flow, tomorrow history will never forgive you."
"Seluruh milisi dialah yang mengerakkan, mengadu domba antar orang sipil di Timtim," kata Dillon.
Tanggal 6 April 1999 setelah pembantaian Liquica, Adam Damiri pernah berdebat dengan Mgr Bello. Adam mengakui pembunuhan hanya terhadap 5 orang, tetapi Bello mengatakan ada 25 orang terbunuh yaitu para pastor.
Dan Adam menyalahkan Pastor Rafael yang salah dalam kasus pembantaian tersebut, bukan salah milisia, polisi atau militer.