Dua Tahun Menjabat, Jokowi-JK Dinilai Menyerah di Hadapan Politik
Kelemahan tersebut, mulai dari sistem hingga orang yang menduduki atau berwenang dalam penegakan hukum.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan pembenahan hukum termasuk pemberantasan korupsi selama dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) masih sangat lemah.
Kelemahan tersebut, mulai dari sistem hingga orang yang menduduki atau berwenang dalam penegakan hukum.
Salah satunnya dalam penunjukan pejabat yang duduk pada lembaga penegakan hukum yang cendereng berorientasi politik.
"Kritik yakni kepada pilihan kabinet Jokowi-JK yang tidak serius di ranah hukum. Terlihat Jokowi-JK menyerah di hadapan politik," ujar Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Selasa (18/10/2016).
Contohnya, menurut Zainal, jabatan Menteri Hukum dan HAM dan Jaksa Agung yang diisi oleh orang politik, bukannya orang yang benar-benar profesional pada bidang hukum.
Menkumham Yasonna Laoly merupakan keder PDIP dan Jaksa Agung HM Prasetyo yang merupakan kader Partai NasDem yang pernah menjabat sebagai anggota DPR meskipun singkat.
"Bahkan Kapolri kalau tidak ribut bisa jadi dari Parpol juga," kata Zainal Arifin Mochtar.
Menyerahnya Jokowi-JK terhadap politik, menurut Zainal, juga tampak dari kinerja selama dua tahun terakhir yang lebih fokus pada konsolidasi politik.
Meski tidak dapat dipungkiri konsolidasi yang dilakukan tersebut sekarang membuahkan hasil dengan banyaknya partai yang bergabung di koalisi dibandingkan oposisi.
"Dia (Jokowi-JK) terpilih dengan dukungan 30 persenan lebih di awal, dan dalam sistem presidensial itu susah," katanya.
"Makanya yang dia kebut diawal adalah konsolidai politik. Di situluh hukum bukan menjadi fokus yang utama, tapi yang diutamakan adalah kepentingan," Zaenal menambahkan.