Gamawan Fauzi Ungkap Sri Mulyani Ikut Bahas Anggaran e-KTP di Kantor Wapres
Anggaran untuk pengadaan KTP elektronik sebelum disahkan dibahas terlebih dahulu di kantor wakil presiden.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Menteri Dalam Negeri 2009-2014 Gamawan Fauzi terkait kasus dugaan korupsi penerapan paket pengadaan KTP elektronik 2011-2012.
Sebelum diperiksa, Gamawan sempat mengungkapkan dua keterangan terbaru terkait kasus tersebut.
Pertama, anggaran untuk pengadaan KTP elektronik sebelum disahkan dibahas terlebih dahulu di kantor wakil presiden.
"Anggaran itu kan dibahas, bahkan sebelum diajukan. Dibahas dulu di tempat wapres." kata Gamawan di KPK, Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Dikatakan dia, dalam pembahasan di Kantor Wakil Presiden saat itu Sri Mulyani selaku menteri keuangan hadir..
"Jadi, kalau ada yang bilang Bu Sri Mulyani nggak ikut, itu bohong," katanya.
Sri Mulyani saat tu menjabat sebagai menteri keuangan sementara wakil presiden dijabat Boediono.
Gamawan melanjutkan, selain dihadiri menteri keuangan, turut hadir pula Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan menteri-menteri terkait.
Pada kesempatan terebut, Gamawan meminta agar yang mengerjakan proyek e-KTP bukan Kementerian Dalam Negeri.
Bekas bupati Solok itu beralasan tidak mengenal seluk beluk Jakarta.
Kedua, Gamawan meminta kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk mengaudit Rincian Anggaran Biaya (RAB) yang telah disusun.
Setelah diaudit, Gamawan Fauzi mempresentasikan hasilnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK kemudian menyarankan agar Gamawan didampingi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
"Setelah itu, saya tambah lagi supaya didampingi BPKP. Jadi sudah selesai audit RAB itu," katanya.
Setelah semuanya dianggap lengkap, baru tender pengadaan e-KTP dilakukan, didampingi LKPP, BPKP, dan 15 kementerian.
"Malah saya nggak ikut. Setelah itu selesai tender, panitia lapor ke kami," kata Gamawan Fauzi.
Untuk meyakinkan dirinya, Gamawan kembali meminta BPKP untuk kembali melakukan audit.
Karena masih belum percaya, Gamawan kemudian mengirimkannya kembali ke KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung untuk pendampingan.
Pendampingan tersebut merujuk kepada Pasal 83 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Pasal tersebut menyebutkan kontrak dapat dibatalkan jika ada indikasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
"Sampai sekarang belum dijawab firm oleh KPK. Bagaimana kita mau tahu, terus diperiksa setiap tahun oleh BPK," katanya.
"Terus BPK memeriksa lagi dengan tujuan tertentu, tidak pernah ada temuan sampai sekarang," tambah dia.
Gamawan pun mengaku kaget ketika mendapat keterangan bahwa pengadaan e-KTP merugikan negara Rp 1,1 triliun.
Pada kasus tersebut, KPK telah menetapkan dua tersangka.
Dua tersangka tersebut adalah Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto.
Serta bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman.
Negara diduga menderita kerugian Rp 2 triliun akibat korupsi pengadaan e-KTP dari total nilai proyek Rp 6 triliun.