Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Beda Jokowi dan JK Soal Golkar

Di awal masa pemerintahan, Joko Widodo - Jusuf Kalla hanya didukung koalisi yang menguasai suara minoritas di parlemen, yakni 208 dari 560 kursi.

Editor: Adi Suhendi
zoom-in Beda Jokowi dan JK Soal Golkar
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla serta didampingi sejumlah menteri menggelar pertemuan dengan ketua lembaga tinggi negara di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (26/10/2016). Pertemuan yang dihadiri Ketua MPR Zulkifli Hasan, Wakil Ketua MPR EE Mangindaan dan Hidayat Nurwahid, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dan Taufik Kurniawan, Ketua MK Arif Hidayat, Ketua MA Hatta Ali, dan Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari membahas soal reformasi hukum.TRIBUNNEWS/HERUDIN 

Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo

TRIBUNNES.COM, JAKARTA - Di awal masa pemerintahan, Joko Widodo - Jusuf Kalla hanya didukung koalisi yang menguasai suara minoritas di parlemen, yakni 208 dari 560 kursi.

Dua tahun kemudian pemerintah sukses mengantongi suara mayoritas.

Partai Amanat Nasional (PAN) kini berbalik mendukung pemerintahan Jokowi-JK.

Selain itu Partai Golkar pemilik suara terbesar kedua di parlemen juga merapat mendukung pemerintahan Jokowi-JK.

Namun, kesuksesan pemerintahan Joko Widodo dalam merangkul Partai Golkar, bukanlah hal yang mudah.

Ada proses panjang yang harus ditempuh, bahkan juga harus menghadapi wakilnya sendiri, Jusuf Kalla yang merupakan matan Ketua Umum Partai Golkar.

Berita Rekomendasi

Drama antara Joko Widodo, Jusuf Kalla, dan Partai Golkar bermula setelah pasangan tersebut memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Partai Golkar yang di awal pemerintahan memutuskan untuk menjadi oposisi sempat diganyang konflik internal antara pro pemerintah dan yang kontra.

Di awal masa pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla cerita tentang Partai Golkar hanyalah cerita soal dua kubu yang sama-sama mengklaim paling berhak menguasai partai.

Di jalur hukum kubu Aburizal Bakrie yang kontra pemerintah akhirnya menang.

Namun, ia tidak bisa benar-benar menguasai partai.

Jusuf Kalla akhirnya turun tangan untuk menyelesaikan konflik.

Kedua kubu yang sepertinya sudah kehabisan tenaga untuk berkonflik.

Akhirnya sepakat untuk berdamai dan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).

Menjelang munaslub sejumlah petinggi partai mendeklarasikan diri sebagai calon ketua, termasuk Setya Novanto dan Ade Komarudin.

Diantara kedua nama tersebut, hanya Ade Komarudin yang menyambangi Jusuf Kalla di kantor Wakil Presiden.

Diantara calon yang menyambangi Jusuf Kalla, Ade Komarudin mendapat sambutan paling hangat.

Bahkan ia diantar sampai keluar gedung.

Saat Munaslub digelar, Jusuf Kalla tidak tinggal diam.

Ia mengumpulkan para Ketua DPD partai Golkar.

Tidak hanya Jusuf Kalla, Luhut Binsar Panjaitan yang juga merupakan mantan petinggi partai tersebut juga melakukan hal yang sama.

Hal itu diklarifikasi Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di acara pembukaan Munaslub Golkar.

Pada pemilihan yang digelar 17 Mei lalu, Setya Novanto muncul sebagai pemenang pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar.

Dalam Munaslub tersebut diputuskan bahwa Partai Golkar mendukung pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla.

Serta diputuskan pula bahwa partai berlambang pohon beringin itu keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang merupakan partai penyeimbang pemerintah.

Jusuf Kalla yang tadinya dijadwalkan menutup Munaslub tersebut akhirnyna batal hadir.

Padahal di lokasi acara petugas protokoler Wakil Presiden dan Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) sudah tiba untuk mempersiapkan kedatangan Wakil Presiden.

Sebelumnya saat pembukaan, Presiden dan Wakil Presiden menghadiri acara tersebut.

Juru Bicara Jusuf Kalla, Husain Abdullah mengklarifikasi bahwa jadwal Munaslub bentrok dengan jadwal Wakil Presiden.

Dalam acara Munaslub tersebut, agenda pemilihan ketua memang molor dari jadwal.

Sedangkan terkait kemenangan Setya Novanto, Jusuf Kalla sempat berkomentar "Ya baiklah, prosesnya tadi malam bagus sekali."

Kemenangan Setya Novanto itu tentunya akan berdampak buruk bagi partai, karena hubungan Setya Novanto dengan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sedang rusak karena kasus "Papa Minta Saham".

Padahal baik pemerintah maupun Partai Golkar saling membutuhkan satu sama lain.

Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Setay Novanto sebelum Desember 2015 adalah Ketua DPR RI.

Ia akhirnya harus lengser setelah dilaporkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said.

Sang menteri awalnya menerima laporan dari Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, soal bagaimana Setya Novanto menjual nama Presiden dan Wakil Presiden, demi jatah saham.

Dalam rekaman perbincangan antara Setya Novanto, Riza Chalid, dan Maroef Sjamsoeddin Setya Novanto sempat berkata menyinggung Presiden Joko Widodo.

"Pengalaman saya ya Pak. Presiden ini agak koppig (kopeh, bahasa belanda untuk keras kepala) tapi bisa merugikan semua. Rusaklah kita punya di lapangan,"

Jokowi kemudian marah saat kasus tersebut mulai menjadi perhatian publik.

"Nggak apa-apa dikatakan presiden gila, presiden syaraf, presiden koppig, nggak apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut minta saham sebelas persen, itu yang saya nggak mau. Nggak bisa!"

Jokowi dengan nada tegas juga mengatakan, "Ini masalah kepatutan, masalah kepantasan, masalah etika, masalah moralitas, dan itu masalah kewibawaan negara".

Jusuf Kalla saat itu mengklarifikasi pernyataan Presiden dengan mengatakan "Ya pastilah, siapa tidak marah kalau namanya dijual jual".

Dalam kesempatan yang sama Jusuf Kalla juga menyebut "Oh iya, kalau itu yang dikatakan benar bahwa kami, presiden dan saya minta jatah. Pasti saya marah".

Dalam kasus tersebut Riza halid yang dilaporkan menemui bos Freeport Indonesia bersama Setya Novanto tidak pernah diperiksa, baik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), maupun Kejaksaan Agung.

Hingga kini kasusnya pun menciut.

Setelah Setnov terpilih menjadi orang nomor satu di Partai Golkar, hubungannya dengan Joko Widodo kembali membaik.

Dua bulan setelah Setnov terpilih menjadi orang nomor satu di Partai Golkar, digelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar.

Hasilnya adalah mendukung Jokowi sebagai Calon Presiden RI pada 2019 mendatang.

Namun, hubungannya dengan Jusuf Kalla mungkin tidak sebaik hubungan Setya Novanto dengan Presiden.

Setelah terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, keduanya belum pernah terlihat publik bertemu.

Pada September lalu, saat ditanya soal program e-KTP yang masih jauh dari target, Jusuf Kalla menjawab bahwa sejak awal program tersebut memang bermasalah.

Ia mengatakan "Memang ada indikasi sejak awal e-KTP itukan bermasalah, karena itu ada yang tersangkut, jadi karena itu sambil berjalan tentu penegak hukum juga akan meneliti ini kejadian".

Apa yang tersangkut di kasus tersebut, Jusuf Kalla saat itu tidak menyebutkan.

Namun, nama Setya Novanto kerap kali dikaitkan dengan kasus tersebut.

Hal itu dituturkan Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang menjadi pesakitan karena kasus korupsi, menyebut ada keterlibatan Setya Novanto.

Namun, hal itu sudah berkali-kali dibantah Setya Novanto.

Pada awal September lalu Jusuf Kalla memberikan pernyataan yang keras untuk Setya Novanto.

Ketika dimintai tanggapannya soal upaya Setya Novanto yang berusaha memulihkan nama baiknya dari kasus "Papa Minta Saham," Jusuf Kalla mengatakan bila Novanto sendiri yang minta berhenti dari ketua DPR.

"Kalau diingat Setya Novanto kan yang minta berhenti jadi ketua," kata Jususf Kalla.

Sementara itu istana melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung merespon dengan mengatakan "Ini peristiwa politik, silakan MKD (red: Mahkamah Kehormatan Dewan) menyelesaikan."

Kini hubungan Partai Golkar dengan Jokowi sedang mesra-mesranya.

Dukungan Partai Golkar untuk Jokowi ditunjukan dengan berbagai atribut dari Partai Golkar dengan foto Presiden, untuk memperingati dua tahun berkuasanya mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Bahkan untuk urusan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI, Partai Golkar tetap mendukung Jokowi.

Dukungan tersebut ditunjukan dengan dukungan partai untuk Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Ahok yang dikenal dekat dengan Jokowi adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta, ketika Jokowi masih berstatus sebagai orang nomor satu di Jakarta.

Selain itu, Ahok maju di Pilkada DKI Jakarta dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pendukung utama.

PDIP, adalah partai tempat bernaung Jokowi.

Sementara sikap Jusuf Kalla dapat dilihat dari manuver besannya, Aksa Mahmud.

Taipan dari Sulawesi Selatan itu sempat muncul di lokasi kampanye saingan Ahok, yakni Anies Baswedan.

Hampir pasti Partai Golkar akan terus mendukung kebijakan pemerintah sampai pemilihan Presiden 2019 mendatang.

Jika memang dukungan tersebut terus diberikan Partai Golkar, maka hubungan Partai Golkar dengan Jokowi akan terus mesra hingga 2019.

Sementara itu, Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan mengakui bahwa ia tidak mau lagi melanjutkan jabatan di pemerintahan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas