Jaksa KPK Dakwa Adik Bambang Widjojanto Korupsi Mobile Crane Rp 37,9 Miliar
Namun, pengadaan mobile crane tetap dimasukkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mendakwa Haryadi Budi Kuncoro, adik kandung mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto melakukan korupsi pengadaan 10 unit mobil crane dengan kerugian negara mencapai Rp 37,9 miliar dari total anggaran Rp 58,9 miliar.
Haryadi selaku Manajer Senior Pelindo II melakukan korupsi bersama Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II Ferialdy Norlan.
"Setelah dilakukan pemeriksaan pada tujuh mobil crane tipe QYL65 dan tiga mobil crane tipe QYL25 ternyata tidak layak operasi karena mengalami kondisi tekuk pada pipa penyusun lengan," kata Jaksa JPK Pakpahan, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Senin (28/11/2016).
Dalam uraian jaksa disebutkan, pengadaan mobil crane dengan kapasitas 25 dan 65 ton diusulkan pada 2011 oleh RJ Lino selaku Dirut Pelindo II untuk cabang Pelindo II, padahal berdasarkan kajian yang dilakukan kedua terdakwa seluruh cabang tidak membutuhkan mobile crane.
Namun, pengadaan mobile crane tetap dimasukkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).
"Kemudian dilakukan pengadaan 13 unit mobile crane dengan total anggaran Rp 58,9 miliar," kata jaksa Pakpahan.
Jaksa menjelaskan, pengadaan mobile crane dilakukan untuk cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, dan cabang lainnya.
Sementara pengadaan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri BUMN yang menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa harus menerapkan prinsip efektif yang sesuai dengan kebutuhan.
Dalam proses pengadaan, terdakwa Haryadi menginstruksikan biro pengadaan dan tim teknis meloloskan perusahaan Guangzhi Narishi Century M&E Equipment (GNCE) sebagai penyedia barang yang diproduksi Harbin Construction Machinery Co. Ltd.
Padahal perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat teknis dan syarat keuangan.
Oleh Haryadi, spesifikasi teknis crane disesuaikan dengan spesifikasi crane HCM agar lolos administrasi, hingga pada 8 Juni 2012 dilakukan perjanjian antara Pelindo II dengan PT GNCE dengan nilai kontrak sebesar Rp 45,6 miliar.
Kontrak itu meliputi 10 unit mobil crane beserta pengirimannya, sertifikasi pemakaian alat pengangkutan, garansi, hingga aksesori alat.
Sementara terdakwa Ferialdy mengajukan pembayaran uang muka sebesar Rp 9,13 miliar yang tidak didukung jaminan uang muka dari GNCE ke Pelindo II.
Ferialdy bahkan melakukan pembayaran tahap I sebesar 75 persen dan tahap II sebesar 5 persen kendati GNCE belum melakukan uji performance dan pelatihan.
Setelah barang diterima, diketahui spesifikasi teknis dan kinerja mobil crane tidak sesuai rencana kerja serta syarat teknis.
Selain itu, spesifikasi teknis dan kinerja crane untuk kapasitas 25 dan 65 ton tidak sesuai rencana kerja dan syarat teknis pengadaan.
Padahal kondisi di lapangan tidak sesuai dengan data yang ada dalam buku petunjuk mobil crane.
Kondisi mobil crane, menurut penuntut umum, diduga bekas pakai untuk memenuhi syarat dalam rencana kerja.
Mobil crane itu juga tidak dimanfaatkan sesuai rencana semula sehingga negara mengalami kerugian hingga Rp 37,9 miliar.
Atas perbuatan terdakwa, keduanya terancam dipidana dengan pasal 2 ayat 1 Juncto pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 KUHP.
Keduanya sepakat tak mengajukan eksepsi atau nota pembelaan atas dakwaan tersebut. Persidangan akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.