Polemik Helikopter AgustaWestland, Perlu Komitmen Pemerintah Majukan Industri Pertahanan
TNI AU menyatakan telah melakukan pengadaan helikopter AgustaWestland yang pernah ditolak oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terkait polemik pembelian Helikopter AgustaWestland AW101, Analis Pertahanan Connie Rahakundini Bakrie melihat persoalan itu sebenarnya ada pada industri pertahanan (indhan) yang belum bisa memenuhi kebutuhan TNI AU, sehingga perlu adanya komitmen dari pemerintah untuk memajukan industri tersebut agar mandiri.
“Harus ada perubahan total di sistem pengadaan Kemhan dan komitmen kita pada pembangunan indhan,” ujar Connie Rahakundini Bakrie kepada Tribunnews.com, Selasa (3/1/2017).
Sebelumnya, TNI AU menyatakan telah melakukan pengadaan helikopter AgustaWestland yang pernah ditolak oleh Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu. Namun kali ini alasan pengadaan bukan untuk VVIP, melainkan untuk kebutuhan angkut.
Connie setuju apabila setiap pembelian alat utama sistem senjata (alutsista) harus memprioritaskan produksi dalam negeri. Namun kenyataannya belum satupun produsen alutsista di Indonesia yang mampu membangun helikopter sesuai kebutuhan.
"Jadi dimananya kita bicara kita menuruti Undang-Undang? Wong helinya kita juga belum bisa bikin. Artinya PT. DI, KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) telah berbohong pada Presiden dan seluruh rakyat Indonesia," kata connie.
Mengenai helikopter jenis Cougar maupun Super Puma, Connie menjelaskan bahwa heli tersebut bukanlah buatan Indonesia, namun PT. DI hanya merakit komponen yang ada.
“Super Puma atau Cougar itu sepenuhnya masih buatan Perancis dan PTDI hanya merakit memasang ekornya, saat dua bilah component (body and tail) tersebut masuk Indonesia,” ucap Connie.
Sementara, Connie mengartikan yang dimaksud buatan itu yakni sejak didesain, indhan dalam hal ini PT. DI ikut berkontribusi di dalamnya.
“Kalau memang demikian PT. DI sebagai manufaktur pasti akan tercantum di manual manufaktur. Lebih tepat kalau assembling, artinya PT.DI mendapatkan license for assembling dari manufaktur,” ucap Connie.
“Kontribusi PT. DI dalam produksi Helikopter sangatlah terbatas karena heli beda dengan fix-wing, yang sangat membedakan adalah moveable component beserta accessoriesnya yang merupakan 60 persen dari heli, dan tidak mungkin kita dapat memproduksinya,” kata Connie.
Dewan Pembina National Air and Space Power of Indonesia itu menilai bahwa selama ini ada indikasi perang industri pertahanan dalam ranah global terlihat dari penolakan PT. DI terkait pembelian AW 101.
Padahal, AgustaWestland menurut Connie telah menawarkan adanya Transfer of Technology kepada Indonesia sehingga nantinya indhan nasional mampu membangun helikopter secara mandiri.
“Dan yang paling parah hubungan 40 tahun dengan Airbus tidak membuat PT. DI bigger (besar), better (lebih baik) dan mumpuni sebagai indhan,” kata Connie.
Kualitas AW101 Dibanding Cougar dan Super Puma