Kekhawatiran Partai Politik Jika Banyak Capres di Pemilu 2019
Sejumlah partai politik menentang usulan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold diubah menjadi 0 persen.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah partai politik menentang usulan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold diubah menjadi 0 persen.
Beberapa alasan mengemuka. Salah satunya dikhawatirkan akan muncul terlalu banyak calon sehingga suasana perpolitikan menjadi tak kondusif.
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda menilai kekhawatiran tersebut belum tentu terjadi. Ia mencontohkan Pemilu Presiden 2004 yang secara kalkulasi bisa menghasilkan banyak sekali calon presiden dan calon wakil presiden.
Saat itu, sebanyak 24 partai politik berpartisipasi dalam pemilu legislatif.
"Pada 2004, secara kalkulasi bisa muncul banyak sekali capres tapi nyatanya hanya lima," kata Hanta di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/1/2017).
"Kemudian masuk dua putaran, Bu Mega (Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri) dan Pak SBY (Ketua Umum Partai Demokrat Pak SBY). Padahal bisa banyak. Jadi, tidak ada jaminan," ujarnya.
Selain itu, Hanta juga menilai tak ada korelasi langsung antara presidential threshold dengan penataan sistem presidensil.
Alasan mengenai diperlukannya koalisi yang besar untuk mengusung pasangan capres dan cawapres pun dianggapnya tak relevan.
Hanta mencontohkan langkah SBY yang maju Pilpres 2009. Meski koalisi pendukungnya cenderung gemuk, namun hal itu tak otomatis dapat menyolidkan kabinet.
"Tak ada jaminan. Sekarang, Jokowi-JK hanya 36 persen (dukungan koalisi) ketika masa pilpres. Tapi sekarang besar. Jadi tidak ada korelasinya kalau alasannya biar dari awal terbentuk koalisi," kata dia.
Sementara itu, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfuf MD, mewanti-wanti anggota dewan agar berhati-hati merumuskan Rancangan Undang-Undang Pemilu.
Sebab, UU tersebut akan rawan gugatan jika sejumlah pihak menilainya inkonstitusional.
"Saya hanya mengingatkan, apapun ini, kalau tidak hati-hati pasti akan digugat. Karena ini menyangkut politik. Politik artinya pembagian kue kekuasaan, yang sudah berkuasa ingin mempertahankan kekuasaannya," ucap Mahfud.
Bahkan, ia mengaku telah menerima tawaran dari beberapa pihak untuk menjadi saksi ahli dalam uji materi RUU Pemilu.
"JR (judicial review atau uji materi) pasti ada. Belum diundangkan saja orang sudah menyiapkan gugatan kok. Apalagi sudah diundangkan," ucap Mahfud.
Sejumlah pihak yang sudah merencanakan uji materi tersebut di antaranya berasal dari kalangan akademisi, aktivis, hingga partai baru dan partai kecil.
Menurut Mahfud, salah satu poin yang paling rawan gugat adalah presidential threshold, terutama jika ditetapkan angka, berapa pun angkanya.
"Kalau 0 persen berarti semua parpol boleh ikut, saya kira tidak akan ada gugatan," tuturnya.
Adapun peta politik sementara, terdapat lima parpol di parlemen yang memilih untuk nenyetujui usulan pemerintah dalam draf RUU Pemilu terkait presidential threshold.
Mereka adalah Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Usulan pemerintah, presiden dan wakil presiden dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Partai Nasdem, misalnya, beralasan bahwa jika presidential threshold tidak diberlakukan, maka capres dan cawapres yang muncul nantinya akan banyak. Hal itu akan menimbulkan hiruk pikuk di dunia perpolitikan.
PKS berpendapat senada. Dengan jumlah pasangan capres dan cawapres yang lebih sedikit, maka koalisi akan lebih sederhana. Rakyat pun tak akan dibuat bingung dan pusing dengan pilihan yang terlalu banyak.
Sedangkan Golkar menegaskan bahwa pemberlakuan threshold merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 6a ayat (2), yang berbunyi "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum."
Jika threshold tak diberlakukan, RUU Pemilu dinilai tak menjalankan perintah UUD 1945.
"Tidak ada dinyatakan di situ bahwa harus tidak usah pakai persentase. Tapi dari kata-kata gabungan, pasti ada persentase dan hitungan kuantitatif," kata anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu dari Fraksi Partai Golkar, Rambe Kamarul Zaman.