Komunitas Seniman Terbesar di Dunia Tolak Penggusuran di New Delhi
Momok penggusuran terjadi di Koloni Kathputli sebagai daerah kumuh di New Delhi yang jadi rumah bagi ribuan seniman tradisional dan artis jalanan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koloni Kathputli merupakan daerah kumuh di New Delhi yang menjadi rumah bagi ribuan seniman tradisional dan artis jalanan yang dikenal sebagai komunitas seniman terbesar di dunia yang telah ada sejak 60 tahun silam.
Warga yang tinggal di daerah ini telah bertahun-tahun lamanya menolak berbagai upaya penggusuran. Sayangnya, kini pemerintah agresif mendatangkan truk penghancur dalam jumlah besar.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Ratusan laki-laki, perempuan dan anak-anak berlari mencari perlindungan, berteriak dan menjerit, saat buldoser menghancurkan dinding batas koloni Kathputli.
Begitu sebagian dinding hancur menjadi debu, banyak warga mengelilingi buldoser itu dan memaksa sopirnya untuk berhenti.Puluhan polisi mencoba untuk mendorong mundur kerumunan tapi mereka menolak untuk mengalah.
Mukul, 40 tahun, mengatakan mereka sedang diusir paksa.
”Kami sudah berulang kali bilang tidak mau pergi kemana pun. Ini rumah kami dan kami tidak akan pergi kemana-mana. Tapi mereka bertekad membuat kami kehilangan tempat tinggal,” keluh Mukul.
“Kami tahu tidak ada masa depan kalau pergi dari sini karena tidak ada jaminan. Mereka adalah pendusta yang mencoba menipu kami. Mereka ingin membuang kami di tempat penampungan sementara seperti sampah, “ungkap Mukul.
Momok penggusuran telah menghantui warga sejak 2010, ketika pemerintah kota menandatangani kesepakatan dengan pengembang swasta.
Ini adalah proyek konstruksi besar dimana akan dibangun apartemen bertingkat tinggi dan pusat perbelanjaan.
Tapi kali ini penggusuran tampaknya tidak bisa dielakkan. Sudah lebih dari satu minggu sekarang, seluruh daerah telah berubah menjadi sebuah benteng, dimana polisi dan pasukan paramiliter tersebar dalam jumlah besar.
Kendaraan pengendali huru hara dan tentara bersenjata, kata aktivis Himshi Singh, adalah unjuk kekuatan yang tidak perlu.
”Saya tidak paham apa yang dilakukan pasukan paramiliter di sini. Biasanya mereka ada di tempat-tempat konflik seperti Nagaland dan Kashmir. Apa yang ingin mereka sampaikan dengan keberadaan ratusan pasukan ini?” tanya Singh.
“Orang-orang yang tinggal di sini adalah seniman yang membuat Anda bangga tapi Anda malah memperlakukan mereka sebagai teroris. Tentara berkeliaran di mana-mana, masuk rumah-rumah secara berkelompok dan memaksa warga menandatangani dokumen dan menghancurkan rumah. Mereka meneror warga agar mau tunduk, “ujar Singh.
Lebih dari tiga ribu keluarga yang terdiri dari para dalang boneka, tukang sulap, pemain akrobat, penari dan musisi hidup di koloni Kathputli. Bahkan ada yang mengklaim kalau koloni ini adalah komunitas artis jalanan terbesar di dunia.
Pemerintah telah berusaha meyakinkan mereka untuk pindah ke tempat penampungan sementara sampai pekerjaan konstruksi selesai.
Pemerintah berjanji semua keluarga akan mendapat rumah yang baru dibangun. Beberapa keluarga, termasuk Mohammad Islam, setuju dengan tawaran pemerintah.
“Saya pindah karena pengadilan mengatakan kami harus melakukannya dan meyakinkan tidak ada masalah yang akan menimpa kami. Semua orang ingin pembangunan tapi jika orang miskin ditipu atas nama pembangunan, itu benar-benar menyakitkan. Saya yakin jika ada yang tidak beres, pengadilan akan menyelamatkan kami,” yakin Islam.
Tapi sebagian besar warga masih menolak untuk meninggalkan rumah mereka. Banyak dari mereka ragu akan keseriusan pemerintah dalam memenuhi janjinya terkait relokasi setelah proyek selesai.
Sejarah ingkar janji yang dialami penghuni kawasan kumuh lainnya yang diusir di kota itu, yang memicu kekhawatiran ini.
Sementara yang lain khawatir dengan masa depan seni mereka di ruang apartemen kecil yang terbatas. Pooran Bhat adalah seorang dalang yang diakui dunia internasional.
”Di sini ada kelompok-kelompok yang terus membuat kesenian tradisional hidup bahkan di tengah-tengah penderitaan, kemiskinan dan kesulitan. Tapi tidak ada seorang pun yang memikirkan kelangsungan hidup mereka,” kata Bhat.
“Jika karya kami tidak mendapat ruang bernapas yang cukup, maka karya itu akan mati. Selain itu pendidikan kami tidak begitu tinggi sehingga sulit untuk dapat pekerjaan di kantor.”
Selain unjuk kekuatan tentara bersenjata dan petugas pembongkaran, pihak berwenang juga telah menghentikan layanan sanitasi kota ke daerah itu.
Akibatnya sampah menumpuk dan limbah meluap dan ini bisa menimbulkan resiko kesehatan yang serius. Warga melihat langkah itu sebagai taktik lain untuk menekan mereka segera mengosongkan daerah tersebut. Tapi untuk saat ini, tampaknya mereka belum akan menyerah.
Penulis : Bismillah Geelani / Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.