Pasca Terbakarnya Kapal Zahro, Pembuat Kapal Mesti Serahkan Rancang Bangun Kapalnya
Terbakarnya Kapal Zahro Express yang menewaskan 23 penumpang, membuat prosedur keselamatan terus menjadi sorotan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terbakarnya Kapal Zahro Express yang menewaskan 23 penumpang, membuat prosedur keselamatan terus menjadi sorotan.
Kapal tradisional yang diduga mengangkut 200an penumpang menunjukkan karut marutnya transportasi laut. Proses izin berlayar dan keberangkatan di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke Jakarta Utara mulai berbenah.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Para nakhoda dan Anak Buah Kapal (ABK) di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, terlihat sibuk.
Sebelum berlayar mereka harus mempersiapkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang dikeluarkan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan.
Petugas Syahbadar mempertanyakan kelengkapan soal SPB kepada nakhoda dan anak buah kapal.
“Pengecekan kapal mau berangkat pak? Iya surat-suratnya. Ada berapa berkas? Ini ada SKK nakhoda, PAS besarnya, surat ukur dan sertifikat kelayakan penumpang. Call Sign tanda panggilan, “tanya petugas Syahbadar.
Tak hanya itu, nakhoda juga harus mengantongi SKK dan PAS.
Surat Keterangan Kecakapan (SKK) adalah surat yang menyatakan nakhkoda cakap dalam mengemudikan kapal, tahu lalu lintas air dan paham olah gerak kapal.
Sementara PAS adalah Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia. Ada dua jenis PAS yang diberikan kepada kapal. Satu PAS Besar untuk kapal dengan berat diatas 7 grosston dan PAS Kecil dengan berat dibawah 7 grosston.
Menurut Pasal 163 UU tentang Pelayaran, kapal yang terdaftar di Indonesia dan berlayar di laut diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia.
Petugas Syahbadar bertanya kepada nakhoda: “Ada SKKnya? Ada bu. Mesin? Ada 30 mil juga. ABK 6 orang ya. Navigasi ada pa? Ada radio, kompas bu. Pemadam? Ada bu. Berapa ya? Ada tiga.
Lolos cek kelengkapan, petugas di Syahbandar kemudian memeriksa kapal. Pengecekan Kapal Syahbandar (KM Miles) pun dilakukan.
“KM Miles 24 orang, tolong dibantu dicek pak. Monitor ini perwira piket Syahbandar, KM Miles 1 siap berangkat. Dibantu kadet saya ya pa ada di lapangan, penumpang ada 24 orang. Udah ya pak. Nanti temuin kadet saya sama pa Murtado,”ungkap Petugas Syahbadar.
Pihak Syahbandar berpesan, jika ada penambahan penumpang, nakhoda wajib melapor kembali.
Kondisi ini jauh berbeda saat belum ada insiden terbakarnya kapal Zahro Express pada awal tahun 2017. Itu pagi, 200-an penumpang hendak ke Pulau Tidung. Tapi baru 1 mil, terdengar bunyi dentuman dan kepulan asap. Tak lama, seluruh badan kapal habis dilalap api, 23 penumpang tewas.
Staf Pengawasan Keselamatan Pelayaran (PKP) Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Muara Angke Jakarta Utara, Ichwan Darwanto, mengakui perubahan tersebut. Bahkan, kini ada lima petugas jaga saban hari.
Petugas, akan mengecek semua kapal yang akan berlayar. Mulai dari kelengkapan keselamatan hingga navigasi.
"Jadi sekarang cek dan ricek, kita libatkan operator, dishub, kita sama sama ke kapal untuk memeriksa penumpangnya, “kata Ichwan
Bahkan nakhoda diwajibkan melaporkan ulang manifest, mesin, dan mengimbau penumpang memakai pelampung. Malah di dermaga, spanduk terpasang, salah satunya bertuliskan; Penumpang Pelabuhan Kali Adem Dilindungi Asuransi.
Nakhoda KM Diamond 21, Zaenuddin saat mengajukan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), bercerita sebelumnya tak pernah ada pengecekan ulang seperti sekarang.
“Bapak udah lapor biasanya ngecek ke bawah? Iya sekarang ngecek ke bawah, tapi kalau dulu nggak, “ungkap Zaenuddin.
Di Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, total ada 41 kapal yang beroperasi hilir mudik mengantar para pelancong ke pulau-pulau di Kepulauan Seribu.
Puluhan kapal itu, milik perorangan. Sehingga, siapa pun bisa saja membuat dan menjalankan bisnis sebagai kapal wisata.
Paling agar diakomodasi keanggotaannya, para pemilik bergabung dengan PT Samudera Sumber Artha (PT SSA). Mayoritas kapal di sana, dibuat oleh Muslim. Pria paruh baya ini mengaku sudah merakit 20 kapal.
Kepada saya, ia bercerita pembuatan kapal selama ini berdasarkan pesanan. Konstruksi kapal buatannya pun, diklaim sesuai standar. Mulai dari kelistrikan yang menggunakan kabel khusus tahan air dan tak mudah terbakar, hingga tata letak mesin juga penyimpanan bahan bakar.
Dimana, genset ia sarankan berada terpisah dari mesin. Tujuannya mencegah korsleting.
"Jadi kapal misal panjangnya 30 meter. Jadi dari belakang sekitar 10 meter itu mesin. Sisanya nakhoda dan penumpang. (Kalau genset dilengkapi? saya dilengkapi, dan itu di atas tidak boleh di dalam. Di atas dek, kalau Zahro Express di dalam, dia pikir maunya bersih. Kalau korslet dia nggak tahu. Kalau kapal tradisional memang harusnya taro di atas, memang ya rada ruwer sedikit,”kata Muslim.
Material yang digunakannya pun tidak sembarangan. Semisal, tempat penyimpanan bahan bakar yang terbuat dari drum besi.
Dengan drum besi, maka tak mudah terbakar dan tak gampang rusak. Penggunaan kabel juga dibuat terbatas, hanya ada di kamar mesin. Itu pun digunakan sebagai penerangan saat malam.
Salah satu pemesan kapalnya adalah Mutia Prima Yodi –pemilik Zahro Express. Dia meminta Muslim, merakit kapal sesuai rancangannya. Sementara terkait perizinan, ia tak tahu menahu.
Padahal dalam situs Kementerian Perhubungan tertulis; harus menyerahkan rancang bangun terlebih dahulu jika akan membuat kapal penumpang. Rancang bangun menjadi satu syarat sebelum mengajukan izin. Direktur Perkapalan dan Kepelautan Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub, Rudiana.
“Ke depannya, sebelum dia membangun, dia harus memberikan desain kepada kita. Desain gambarnya seperti apa, penataan mesinnya di mana. Baru kita hitung stabilitasnya. Untuk kapasitas berapa, untuk perairan mana, keselamatannya seperti apa. Komunikasinya seperti apa. Baru kita hitung penempatannya. Selesai kita evaluasi kapalnya, itu nanti kita serahkan ke pembuat, ”ungkap Rusdiana.
Sementara untuk penyimpanan bahan bakar dan tata letak mesin yang selama ini ada di kapal tradisional, menurutnya tak sesuai standar.
Seharusnya, ruang mesin terisolir, tidak menyatu dengan penumpang. Tempat bahan bakar pun terbuat dari tangki, bukan drum atau dirigen.
“Harusnya untuk keselamatan, kadang-kadang masih belum disiplin penumpang kita, misalnya rokok dll. Bahan bakar harusnya disimpan di tanki, jangan di drum atau di dirigin. Itu pun harus terisolir jauh dari penumpang. Tapi kan ini kapal tradisional, karena ini kan kapal tradisional kecil. Intinya tanki bahan bakar, ruang mesin, genset harus dipisah, jangan disimpan dekat penumpang, “ujar Rusdiana.
Transportasi laut, nyatanya masih jauh dari perhatian pemerintah. Padahal bagi warga di Kepulauan Seribu, tak ada lain selain kapal. Bahkan, ribuan orang saban pekan melancong ke sana.
Pembenahan mesti jadi prioritas, karena keselamatan tak bisa ditawar.
Penulis : Eli Kamilah / Sumber : Kantor Berita Radio (KBR).