Soal Ahok, DPR Dinilai Terkesan Obral Hak Angket
Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai hak angket sering diobral.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai hak angket sering diobral.
Hal itu menanggapi wacana PKS menggulirkan hak angket terkait Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang tidak dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta meski terdakwa.
"Jadi seperti isu harian," kata Ray usai diskusi di D'Hotel, Jakarta, Minggu (12/2/2017).
Ray mengingatkan hak angket di DPR merupakan hal yang serius.
Baca: PKS Wacanakan Hak Angket Soal Ahok, Golkar: Apa yang Harus Dipersoalkan?
Baca: PKS: Ahok Tidak Diberhentikan Sementara, DPR Dapat Gunakan Hak Angket
Hak Angket berada satu level dibawah pemakzulan Presiden RI.
"Oleh karena itu, jangan mudah mengobral isu angket kalau bukan hal mendasar," tutur Ray.
Sebelumnya, Partai Demokrat juga menggulirkan wacana hak angket penyadapan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ray menuturkan DPR sering mewacanakan hak angket dan panitia khusus (Pansus).
Namun, seringkali tidak terwujud.
"Dipelajari dulu kasusnya naik ke isu pansus dan angket, karena sudah terlalu sering," kata Ray.
Bila terlalu sering, Ray khawatir hak angket menjadi isu murahan. Padahal, setiap anggota wajib menjaga marwah DPR.
"Kalau berbicara angket, publik menduga serius. Ini mendengar angket dan pansus jadi seperti rapat biasa enggak ada surprise. Nanti kalau benar-benar angket, publik malah enggak mendukung," kata Ray.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Almuzzammil Yusuf menegaskan DPR dapat menggunakan Hak Angket jika Presiden RI tidak mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap Basuki Tjahya Purnama (BTP) atau Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI, sesuai dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 83 ayat 1,2, dan 3.
“Setelah menerima kajian dan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat, tokoh masyarakat, dan para pakar tentang pengabaian pemberhentian terdakwa BTP dari jabatan Gubernur DKI oleh Presiden, maka DPR RI dapat menggunakan fungsi pengawasannya dengan menggunakan hak angket terhadap pelaksanaan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Pasal 83 Ayat 1,2, dan 3,” tegas Almuzzammil dalam keterangan pers, Sabtu (11/2/2017).
Menurut Almuzzammil, berdasarkan Pasal 83 ayat 1,2, dan 3 Presiden RI berkewajiban mengeluarkan surat keputusan tentang pemberhentian sementara sampai status hukumnya bersifat tetap bagi gubernur yang berstatus sebagai terdakwa yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan.
“Sudah cukup bukti dan dasar hukum bagi Presiden untuk memberhentikan sementara BTP dari jabatan Gubernur DKI. Pertama, status BTP sudah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kedua, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara 5 tahun dan 4 tahun,” kata Muzzammil itu.
Almuzzammil mengatakan seharusnya Presiden tidak diskriminatif dengan memperlakukan kebijakan yang sama sesuai peraturan perundang-undangan.
Hal itu karena pada kasus mantan Gubenur Banten dan mantan Gubernur Sumut yang terkena kasus hukum setelah keluar surat register perkara dari pengadilan, Presiden langsung mengeluarkan surat pemberhentian sementara.
Jika kebijakan ini tidak dilakukan, tegas Almuzzammil, maka bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan dapat berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.