Tidak Boleh Siarkan Langsung, PN Jakarta Pusat Tetap Izinkan Sidang e-KTP Diliput
Humas Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Yohanes Priyana mengatakan media tetap diperkenankan untuk meliput persidangan.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Adi Suhendi
Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNNEWSS.COM, JAKARTA - Meski melarang meliput persidangan secara langsung atau live, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetap mengizinkan akses peliputan kepada media.
Humas Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Yohanes Priyana mengatakan media tetap diperkenankan untuk meliput persidangan.
"Peliputan boleh, tapi tidak live (langsung)," kata Yohanes di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (8/3/2017).
Baca: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Larang Sidang KTP Elektronik Disiarkan Secara Langsung
Media tetap diperkenankan merekam jalannya persidangan.
Hanya saja, Yohanes mengingatkan aturan meliput persidangan tetap harus diikuti.
Misalnya mengambil gambar tidak boleh menggunakan lampu kilat atau blitz karena bisa mengganggu persidangan.
Menurut Yohanes, larangan untuk peliputan secara live tersebut harus dibedakan antara mendapatkan informasi dengan penyiaran.
Persidangan berkaitan dengan konten sementara konten itu substansi yang disidangkan.
"Konten itu adalah milik para aktor, para pihak yang berkepentingan dalam sidang," katanya.
Baca: Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar Sebut Setya Novanto Tak Tahu Kasus e-KTP
Menurutnya, konten tersebut bukan untuk konsumsi publik karena harus didukung bukti-bukti lain yang akan digunakan Jaksa Penuntut Umum pada perkara pidana.
"(kemudian) untuk kepentingan pembelaan dan majelis hakim untuk kepentingan kebenaran objektif materil dalam menjatuhkan putusan," kata Yohanes.
SK larangan peliputan secara langsung tersebut berdasarkan SK Ketua PN Jakpus kelas 1A khusus nomor W10. U1/KP 01.1.17505XI.2016.01 yang ditandatangani 4 Oktober 2016.
Sekadar informasi, Pengadilan Negeri Tindaak Pidana Korupsi Jakarta besok akan menggelar sidang perdana kasus mega korupsi KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012.
Kasus tersebut menjerat dua orang sebagai tersangka yakni bekas pejabat pembuat komitmen e-KTP Sugiharto dan bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman.
Negara diduga menderita kerugian senilai Rp 2,3 triliun dari proyek senilai Rp 5,8 triliun.