MKD yang Tak "Bergigi" Hadapi Setya Novanto
Ketua DPR RI Setya Novanto kembali dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPR RI Setya Novanto kembali dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Kali ini, ia dilaporkan setelah namanya disebut dalam dakwaan kasus e-KTP atas dugaan menerima dana dalam proyek e-KTP.
Tiga laporan masuk ke MKD terkait Novanto.
Salah satu laporan mempermasalahkan pernyataan Novanto kepada publik yang dianggap berbohong.
Namun, laporan tersebut berpotensi tak ditindaklanjuti.
MKD menyatakan, sesuai hukum acara, jika ada kasus sudah masuk ranah hukum, maka MKD akan memproses laporan etik setelah proses hukum selesai.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai, proses penegakan hukum seharusnya tak dijadikan alasan untuk tidak memproses laporan terhadap Novanto.
"Tak ada alasan untuk menunggu proses lain yang tidak jelas kapan mulai dan kapan akan berakhir," ujar Lucius, saat dihubungi, Jumat (16/3/2017).
Menurut Lucius, hal seperti ini membuat citra DPR semakin tergerus.
DPR seolah rasionalisasi untuk melindungi anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran etika.
"Tentu disayangkan ketika MKD yang berhak memproses dugaan pelanggaran etika membuat rasionalisasi yang sok taat pada aturan tata beracara saja. Padahal, lebih penting bagi MKD untuk memproses laporan dugaan pelanggaran etik tersebut agar citra parlemen tidak rusak oleh perilaku anggotanya," ujar Lucius.
Proses hukum yang berjalan seharusnya tak menjadi alasan MKD tak memproses laporan terkait anggota DPR.
Lucius mencontohkan pada kasus Fanny Safriansyah atau Ivan Haz.
Putra mantan Wakil Presiden RI Hamzah Haz itu dijatuhi hukuman etik berat setelah dianggap terbukti melakukan penganiayaan terhadap asisten rumah tangganya.