Pakar Hukum: Langkah KPK Tetapkan Miryam sebagai Tersanga Sudah Tepat
Langkah KPK menetapkan Miryam tersangka dugaan keterangan palsu palsu dianggap sudah benar.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani menjadi tersangka dugaan keterangan palsu palsu dianggap sudah benar.
Alasannya, menurut pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih, karena ketika dikonfrontir dalam sidang terkait proses penyidikan ternyata keterangannya berubah.
Selain itu keterangan yang disampaikan di penyidikan dan kemudian dicabut itu ternyata sesuai dengan keterangan saksi lain. Artinya keterangan alasan pencabutan di depan Pengadilanlah yang tidak benar dan disampaikan di bawah sumpah.
"Langkah KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka Pasal 22 jo Pasal 35 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 31 Tahun 2001 sudah tepat," tegas Dosen hukum pidana Universitas Trisakti ini kepada Tribunnews.com, Kamis (6/4/2017).
Namun karena dalam surat dakwaan nama yang bersangkutan juga disebut, lebih lanjut ia menjelaskan, tentu harus ada pendalaman atas perbuatan dalam surat dakwaan.
Artinya bisa jadi yang bersangkutan akan juga diterapkan pasal lain terkait perbuatan menerima dana proyek e-KTP tersebut.
"Karena pasal 35 adalah untuk saksi atau ahli yg tidak memberikan keterangan dengan benar," jelasnya.
Jadi Tersangka
Penyidik KPK menetapkan tersangka baru di kasus korupsi e-KTP setelah Irman, Sugiharto dan Andi Agustinus (AA) alias Andi Narogong.
Tersangka baru itu yakni mantan anggota Komisi II DPR RI, Miryam S Haryani (MSH).
"Dalam pengembangan korupsi e-KTP, KPK menetapkan satu tersangka baru anggota DPR RI yakni MSH. Ini adalah tersangka keempat setelah Irman, Sugiharto dan AA," ucap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Rabu (5/4/2017) di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Febri melanjutkan atas perbuatannya, Miryam dijerat dengan Pasal 22 jo Pasal 35 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman 3-12 tahun penjara.
"Tersangka MSH diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto," jelas Febri.