Anggota DPR Tak Paham Penggunaan Hak Angket
hak angket bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf mempertanyakan hak angket yang dipakai oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia menganggap para anggota DPR tak paham soal penggunaan hak angket.
"Apakah paham anggota DPR yang inginkan penggunaan hak angket ini?" kata Asep saat dihubungi, Sabtu (29/4/2017).
Asep menilai, DPR telah melakukan penyalahgunaan instrumen kenegaraan.
Sebab, hak angket tidak ditujukan untuk menyelediki proses penegakan hukum.
Dalam pasal 79 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), disebutkan hak angket bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
"Jelas itu definisi hak angket. Nah, ketika ini digunakan hanya untuk sekedar meminta penjelasan terhadap penegakan hukum, maka tidak sesuai dengan kualifikasi penggunaan hak angket dalam UU MD3," ucap Asep.
Hal senada disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Ia mengatakan, KPK adalah lembaga nonpemerintah yang tidak bisa ditujukan hak angket.
"Mnrt Pnjlsan Psl 79 ayat (3) MD yg bs diangket oleh DPR adl Pemerintah & lembaga pemerintah nonkementerian. KPK bkn Pemerintah," kata Mahfud dalam akun twitternya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memastikan bahwa KPK tidak akan menindaklanjuti hak angket yang diajukan DPR.
Menurut Syarif, permintaan anggota DPR melalui hak angket itu dapat menghambat proses hukum.
"Rekaman dan BAP (berita acara pemeriksaan) hanya dapat diperlihatkan di pengadilan," ujar Syarif saat dikonfirmasi, Jumat.
Menurut Syarif, jika bukti-bukti termasuk rekaman penyidikan dibuka, hal itu berisiko menghambat proses hukum dan dapat berdampak pada penanganan kasus korupsi proyek e-KTP.