Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Dinilai Menyalahi Undang-undang, ICW Gugat Hak Angket soal KPK

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik.

Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Dinilai Menyalahi Undang-undang, ICW Gugat Hak Angket soal KPK
Eri Komar Sinaga/Tribunnews.com
Peneliti ICW Donal Fariz 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai kontradiktif alasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggunakan hak angket.

Salah satu alasan Komisi III DPR untuk menyatakan hak angket adalah adanya dugaan kebocoran data atau informasi KPK.

Namun, di sisi lain, hak angket justru memaksa KPK untuk membuka dokumen atau data yang bersifat rahasia.

"Di satu sisi mereka memaksa KPK untuk membocorkan informasi di wilayah pro justicia. Itu sudah kontradiktif," ujar Donal dalam diskusi Smart FM di Menteng, Sabtu (29/4/2017).

Menurut Donal, sesuai Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, dokumen terkait penyelidikan dan penyidikan merupakan informasi yang dikecualikan.

Dengan demikian, rekaman dan berita acara penyidikan termasuk data rahasia.

Berita Rekomendasi

Bukan hanya itu, pengunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK juga dinilai salah kaprah dan menyalahi undang-undang.

Hak angket sesuai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 adalah hak DPR terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal-hal strategis.

"Hak angket adalah hak penyelidikan yang diberikan kepada DPR sebagai institusi untuk melihat pelaksanaan Undang-Undang dan atau kebijakan Pemerintah. Ini kan satu nafas," paparnya.

Menurut Donal, jika yang melakukan pelanggaran adalah bawahan Presiden sebagai entitas eksekutif, maka laporan pelaksanaan hak angket akan diberian kepada Presiden.

Dalam UU MD3, kata Donal, telah jelas dicantumkan bahwa hak angkat diberikan kepada DPR dalam rangka 'check and balances' antara Pemerintah dan DPR.

"Jadi bukan diberikan kepada wilayah Yudisial. Anda coba bayangkan kalau DPR enggak puas, diangket semua itu putusan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi. Bisa enggak keputusan MK MA itu diangket? Itu kan wilayah yudisial," kata Donal.

Terpisah, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi tak perlu khawatir dengan hak angket DPR.

Ia beranggapan, hak angket yang telah disetujui dalam sidang paripurna, Jumat (28/4/2017), tidak serta merta mewajibkan KPK membuka rekaman kepada DPR.

"Jk diangket oleh DPR, KPK jln trs sj. Klu ditanya jwb sj: rekaman hsl pemeriksaan hny utk Pengadilan. KPK tak bs diapa2kan oleh hsl angket," demikian tulis Mahfud melalui akun Twitternya, @mohmahfudmd, Sabtu (29/4/2017).

Mahfud meminta KPK tak perlu menggubris hak angket yang ditujukan kepada mereka. Terlebih, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) secara tegas telah mengatur penggunaan hak angket tersebut.

"Mnrt UU MD 3 hak angket itu menyelidiki pelaksanaan UU dan atau kebijakan pemerintah. KPK itu bkn Pemerintah dlm arti UUD kita," lanjut Mahfud.

Pemerintah, kata Mahfud, memiliki dua pengertian secara luas, yakni mencakup seluruh lembaga negara.

Sementara, dalam arti sempit pemerintah yang dimaksud hanya eksekutif. Ada pun di dalam UUD 1945, pemerintah yang dimaksud hanya eksekutif.

Ia menambahkan, di dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3, yang dapat diangket DPR adalah pemerintah dan lembaga pemerintah non-kementerian. Menurut dia, KPK bukan pemerintah.

"Silahkan sj DPR menyelidiki KPK dgn hak angket. Kalau ditanya oleh DPR, KPK blh menjawab apa adanya sesuai dengan jaminan UU," cuit Mahfud.

"Inilah saatnya para komisioner KPK menujukkan, dirinya tdk takut dicopot oleh DPR krn DPR tak bs sembarangan mencopot. Ayo, KPK," lanjut dia.

"Angket DPR biarkan sj jalan terus,tp KPK jg bs berjalan lbih kencang. Angket DPR tak hrs dirisaukan. Itu urusan remeh. Ayo, KPK!" katanya.

Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, hak angket yang digulirkan itu berada dalam konteks fungsi pengawasan DPR.

Menurut Masinton, salah satu alasan hak angket, karena Komisi III melihat ada laporan-laporan ke DPR soal surat perintah penyidikan bocor dan dakwaan bocor.

Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam S Haryani, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.

Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di Gedung KPK. Para anggota DPR yang namanya disebut langsung bereaksi. Penggunaan hak angket kemudian muncul.

Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

DPR kemudian menyetujui penggunaan hak angket tersebut.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memastikan bahwa KPK tidak akan menindaklanjuti hak angket yang diajukan DPR.

Menurut Syarif, permintaan anggota DPR melalui hak angket itu dapat menghambat proses hukum.

"Rekaman dan BAP (berita acara pemeriksaan) hanya dapat diperlihatkan di pengadilan," ujar Syarif saat dikonfirmasi, Jumat.

Menurut Syarif, jika bukti-bukti termasuk rekaman penyidikan dibuka, hal itu berisiko menghambat proses hukum dan dapat berdampak pada penanganan kasus korupsi proyek e-KTP.

"Segala upaya yang dapat menghambat penanganan kasus korupsi, termasuk e-KTP dan kasus keterangan tidak benar di pengadilan tentu saja akan ditolak KPK," kata Syarif. (kps/ryo)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas