Mahfud MD: Ada Tiga Konteks Putusan Hakim Buat Ahok
"Tapi yakinlah, Presiden tak melakukan intervensi," ungkap Mahfud MD lagi menirukan jawaban Menteri yang dihubunginya tersebut.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Keputusan hakim terhadap Basuki Tjahaja Purnama kemarin menarik diperhatikan dari segi hukum karena punya tiga konteks keputusan penting.
Setidaknya bagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011, Prof Dr Mohammad Mahfud MD yang akan berulang tahun 13 Mei besok menjadi berusia 60 tahun, menyampaikan khusus kepada Tribunnews.com Rabu ini (10/5/2017).
"Hakim bukan hanya memutus melebihi tuntutan jaksa tapi juga memutus berbeda dari pasal yang digunakan di dalam tuntutan jaksa," papar Mahfud MD.
Apa saja tiga hal tersebut?
"Ada tiga hal dalam konteks ini. Pertama, hakim boleh ke luar dari pasal yang digunakan oleh jaksa untuk menuntut sepanjang masih sesuai dengan dakwaan. Dalam hal ini jaksa semula mendakwa dengan Pasal 156a KUHP. Tetapi pada saat menuntut yang dipakai adalah Pasal 156. Hakim akhirnya kembali ke dakwaan semula. "
Setelah itu, tambahnya, yang Kedua, hakim boleh menjatuhkan hukuman lebih tinggi dari tuntutan jaksa sepanjang tidak melampaui ancaman hukuman yang setinggi-tingginya yang ditentukan di dalam UU.
Di dalam pengalaman akhir-akhir ini banyak vonis seperti itu.
"Ancaman hukuman untuk tindak pidana yang di putuskan untuk Ahok setinggi-tingginya adalah 5 tahun. Jadi hakim boleh menghukum berapa tahun pun selama tak lebih dari 5 tahun."
Tambahnya lagi, Hakim juga boleh memerintahkan langsung ditahan.
"Hal yang Ketiga, Ahok dan penasihat hukumnya bisa melakukan perlawanan hukum dengan melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Bahkan dalam waktu pendek dia bisa meminta penangguhan penahanan. Sebenarnya secara teoritis jaksa juga bisa naik banding. Tapi tidak umum jaksa naik banding untuk menurunkan hukuman."
Biasanya jaksa naik banding kalau hukuman lebih ringan dari tutntutan yang diajukannya,jelasnya lagi.
Tapi hukuman terhadap Ahok mengapa berat?
"Soal berat atau ringannya hukuman kita bisa berbeda-beda. Ada yang bilang terlalu berat dan ada yang bilang setimpal bahkan ada yang bilang kurang berat. Itu kontroversi biasa saja. Tapi yang menggembirakan Pemerintah tak melakukan intervensi ke pengadilan dalam kasus ini."
Mahfud MD juga mengatakan, bahwa tekan menekan ternyata hanya terjadi pada antar pendukung.
"Saya meyakini Majelis Hakim independen. Ketua Majelis Hakim memang punya track record yang baik. Dia berani menghukum koruptor dan tak segan menghukum temannya sendiri. Saya suka pada Hakim Dwiarso karena ekspresi wajahnya saat sidang bisa menutupi gejolak Hatinya, sehingga terlihat selalu tenang dan dingin."
Apa hakim Dwiarso memang punya masa depan setelah menghakimi Ahok?
"Hakim Dwiarso bisa menjadi salah satu hakim masa depan yang bisa diharapkan. Terlepas dari soal kita kurang setuju atas vonisnya, tetapi secara psikologis Majelis Hakim memang menjadi enak memutus kasus ini karena tekanan publiknya datang dari dua kubu."
Apa pun putusannya, ungkap Mahfud MD lagi, pasti dikontroversikan.
"Itu lah sebabnya Majelis Hakim tidak terbebani dan memutus secara obyektif dalam arti tanpa tekanan."
Apakah Pak Mahfud bicara dengan pejabat pemerintah sebelum keputusan tersebut?
"Senin malam, yaitu malam sebelum vonis dilakukan, saya berbicara dengan dua menteri utama. Saya tanya, bagaimana sikap Presiden menghadapi rencana vonis Ahok. Jawabannya, Presiden tidak ikut campur, menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim. "
Sebenarnya, tambah Mahfud MD lagi, memang bisa saja Presiden bersimpati pada Ahok karena merupakan salah satu teman dekatnya.
"Tapi yakinlah, Presiden tak melakukan intervensi," ungkap Mahfud MD lagi menirukan jawaban Menteri yang dihubunginya tersebut.