Peneliti HRW : Kasus Ahok, Tanda Mengkhawatirkan Bagi Masa Depan Indonesia
Vonis bersalah dalam kasus penistaan agama yang dialami Ahok dinilai Peneliti HRW jadi tanda yang mengkhawatirkan bagi masa depan Indonesia.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pekan ini kasus yang membuat warga Jakarta bahkan Indonesia terbelah mencapai puncaknya.
Gubenur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok Selasa lalu (09/05/2017) divonis bersalah dalam kasus penistaan agama dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara.Kasus ini dianggap sebagai tanda yang mengkhawatirkan bagi masa depan Indonesia.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Rabu lalu (10/5) ribuan warga yang mayoritas memakai pakaian merah putih berkumpul di Balai Kota Jakarta. Mereka menyanyikan lagu-lagu nasional. Beberapa tampak menangis dan sedih tapi juga ada yang marah.
Mereka berkumpul untuk menunjukkan dukungan kepada Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sehari sebelumnya Ahok divonis bersalah atas kasus penistaan agama dan langsung ditahan.
Setelah peradilan berlangsung selama lima bulan Ahok dinyatakan bersalah dalam kasus penistaan agama dan divonis dua tahun penjara.
Pengacara Ahok, I Wayan Sudirta, kepada wartawan mengatakan mereka tidak menerima putusan itu.
“Kita kecewa dengan putusan itu makanya kita banding. Boleh dong kecewa, karena alat alat bukti tidak sepaham dengan kita dengan apa yang dipertimbangkan gitu, sangat tidak sepaham,” jelas I Wayan Sudirta.
Tahun lalu Ahok berpidato di Pulau Pramuka Kepulaan Seribu dan saat itu dia menyinggung orang lain yang menggunakan surat Al Maidah untuk mempengaruhi pilihan politik. Ada yang menafsirkan ayat ini sebagai pemimpin ada pula teman setia.
Transkrip tidak lengkap video itu kemudian menyebar dengan cepat. Kelompok garis keras pun mengklaim komentar Ahok itu sebagai penghinaan terhadap Al Quran dan Islam.
Pada saat yang bersamaan Ahok bersama Wakilnya Djarot Saeful Hidayat kembali maju dalam pemilihan gubernur Jakarta. Dan ini membuat proses kampanye berjalan panas dan memecah belah warga.
Di Jakarta, berlangsung demonstrasi besar-besar yang diikuti ratusan ribu Muslim yang menuntut Ahok dipenjara.
Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch, mengatakan respon itu mencerminkan pergeseran budaya keagamaan di Indonesia.
“Ini jelas sebuah Islamisasi. Islamisasi jenis tertentu, karena Islam beragam, Islam punya sejarah yang kaya. Tapi Islam jenis ini, Islam yang tidak toleran. Islam yang diskriminatif akan lebih dominan di Indonesia di masa depan. Sekarang kita sudah melihat pengaruhnya.”
Sebelum muncul kasus penodaan agama ini, kepemimpinan Ahok, yang Kristen dan Tionghoa, dianggap sebagai simbol pluralisme dan toleransi agama yang membanggakan.
Tapi Andreas Harsono mengatakan kasus terhadap Ahok adalah bagian dari tren yang meningkat dalam 20 tahun terakhir.
“Vonis Ahok adalah satu poin penting makin berkurangnya kebebasan beragama di Indonesia. Vonis terhadap Ahok bukan satu-satunya. Ini adalah satu dari lebih dari 100an kasus penodaan agama dalam 20 tahun terakhir,” kata Andreas.
Saat ini makin banyak laporan soal penodaan agama. Dan ketika kasus ini dibawa ke pengadilan bisa dipastikan pelakunya dinyatakan bersalah.
Namun, kelompok masyarakat sipil di dalam negeri dan lembaga internasional, termasuk PBB, menentang legitimasi hukum yang mengkriminalkan kasus penodaan agama.
Berikut penjelasan Pengacara publik di LBH Jakarta, Pratiwi Febry.
“Kebencian itu tidak bisa dinilai dengan objektif. Oleh karenanya kami sama sekali tidak mendukung pasal penodaan agama atau pasal 156a yang berdasarkan dua putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan sudah tidak lagi sesuai dengan negara hukum demokrasi dan prinsip-prinsip demokrasi yang ada,” kata Pratiwi.
Kelompok masyarakat sipil seperti LBH dan Human Rights Watch telah mendorong pencabutan pasal penodaan agama ini.
Setelah putusan dibacakan pada Selasa (9/5) pagi, Ahok langsung dibawa ke Penjara Cipinang menggunakan kendaraan lapis baja. Meski kemudian dengan alasan keamanan, Ahok dipindah ke Mako Brimob Depok.
Dan pada hari itu juga, Wakil Gubernur Djarot Saeful Hidayat dilantik menjadi pelaksana tugas (plt) gubernur.
“Saya sebagai wakil gubernur mengajukan jaminan untuk pak Ahok supaya bisa diberikan penahanan di luar. Bisa dalam bentuk tahanan kota. Saya memandang pak Ahok sangat kooperatif, tidak menghilangkan barang bukti. Supaya juga bisa menjamin proses pelayanan kepada masyarakat,” kata Djarot.
Ratusan warga Jakarta turut menggaungkan tawaran Djarot. Mereka mengumpulkan KTP dan tanda tangan untuk dijadikan jaminan bagi Ahok.
Di luar penjara, berbagai aksi solidaritas digelar. Tidak hanya di Jakarta tapi juga enam kota lain di Indonesia. Aksi serupa juga berlangsung di Hong Kong dan Timor Leste.
Meski pendukung Ahok berupaya keras agar Ahok dibebaskan, di sisi lain kelompok penentang Ahok mengatakan dia seharusnya dihukum lima tahun penjara.
Andreas Harsono yakin kasus ini merupakan tanda yang mengkhawatirkan bagi masa depan Indonesia.
“Jika ini bisa terjadi pada Ahok, ini menakutkan. Ahok adalah orang besar dan tidak banyak orang yang punya kekuatan seperti dia. Konsekuensi yurisprudensi ini menakutkan bagi masa depan Indonesia, kata Andreas.
Penulis : Nicole Curby/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)