IRI Usulkan Tiga Poros Wilayah Ekonomi untuk Percepatan Kesejahteraan
Indonesia Raya Incorporated mengusulkan Indonesia dibagi dalam 3 poros wilayah ekonomi untuk mempercepat pembangunan.
Penulis: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, SURAKARTA - Indonesia Raya Incorporated (IRI) mengusulkan Indonesia dibagi dalam 3 poros wilayah ekonomi yang disebut Poros Ekonomi Indonesia untuk mempercepat pembangunan dan pengembangan ekonomi Indonesia.
Kriteria untuk menentukan poros ekonomi tersebut itu adalah kekuatan ekonomi di suatu wilayah ekonomi, sumberdaya (alam, penduduk, finansial, posisi geografis), infrastruktur, jalur telekomunikasi dan political will.
Ketiga poros ekonom usulan IRI itu adalah Poros Ekonomi Indonesia Barat (PEIB) yakni Kepri – Sumatera – Jawa bagian Barat, Poros Ekonomi Indonesia Tengah (PEIT) yakni Kalimantan – Jateng – sampai dengan NTT, dan Poros Ekonomi Indonesia Timur yakni Sulawesi – Maluku sampai dengan Papua.
Demikian ditegaskan Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) AM Putut Prabantoro yang juga penggagas sistem ekonomi baru Indonesia Raya Incorporated (IRI).
Pernyataan tersebut muncul dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan thema “Poros Ekonomi Indonesia Tengah (PEIT) Untuk Kemakmuran Seluruh Rakyat Indonesia”.
FGD ini diadakan LPPM Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta yang bekerja sama dengan Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) di Kampus UNS Kentingan, Senin (29/5/2017).
Hadir juga pembicara IRI lainnya adalah Prof. DR. Ir. Darsono MSi (Universitas Sebelas Maret) dan DR Y Sri Susilo MSi (Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Keduanya merupakan dua tim ahli ekonomi IRI yang berasal dari 14 Perguruan Tinggi.
Dijelaskan Putut, dengan pembagian tiga poros wilayah ekonomi diharapkan ada skala prioritas dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan ekonomi di masing-masing wilayah. Dengan demikian tak ada daerah yang akan tertinggal dalam pembangunan tersebut.
Menurut Putut prioritas dan fokus pembangunan PEIB pada multi bisnis dan niaga serta multi industri pembuatan barang jadi (assembly factory), PEIT pada multi energy primer, kawasan industri pembuatan dan pengolahan barang setengah jadi multi komoditas, multi moda untuk interkonektivitas (darat, laut, udara dan sungai).
Ada pun PEIR pada pembangunan infrastruktur interkonektivitas (laut, udara dan darat) serta infrastruktur pengeloahan kekuatan lokal (sumber energi lokal, sumber daya alam lokal).
Sementara itu, Sri Susilo mengatakan agar tujuan Pasal 33 UUD 1945 tercapai, pembangunan dan pengembangan wilayah ini harus berdasar pada konsep IRI. Konsep ekonomi IRI berintikan perkawinan BUMN dan BUMD dengan melibatkan penyertaan modal dan sumber daya dari BUMD seluruh Indonesia.
Jika perkawinan ini sudah terbentuk, rakyat Indonesia dapat ikut menikmati kemakmuran dengan membeli saham di Pasar Saham IRI.
Sebagai hasilnya, seluruh daerah dan rakyat Indonesia dapat menikmati kemakmuran setinggi-tingginya dari hasil usaha bersama yang berazaskan kekeluargaan dan yang sumber ekonominya dikuasai negara (Pusat dan Daerah) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.
Prof Darsono dalam penegasannya mengatakan, Indonesia tidak lagi membiarkan dirinya menjadi objek ekonomi karena pengelolaan yang tidak berdasar pada Pasal 33 UUD 1945.
Kekayaan sumber ekonomi yang dimiliki Indonesia sudah harus ditujukan untuk pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan sebesar-besarnya rakyat.
Kondisi politik dan keamanan Indonesia saat ini menuntut ekonomi sistem IRI segera diimplementasikan. Pemerintah Indonesia tidak dapat membiarkan sumber-sumber dan potensi kekayaan ekonomi dikuasai sekelompok golongan, negara asing dan bahkan kejahatan transnasional.
Sistem ekonomi baru IRI ini telah dipresentasikan di Dewan Pertimbangan Presiden pada awal Maret 2017 dan akan dibawa kepada Presiden Joko Widodo. Selain didukung penuh oleh Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat, IRI terus digodok dan disempurnakan oleh akademisi dari 14 perguruan tinggi.
Mereka adalah Prof Mudrajad Kuncoro PhD (Universitas Gadjah Mada), Prof Dr H Werry Darta Taifur SE MA (Universitas Andalas), Prof DR B Isyandi MS (Universitas Riau) , Prof DR Ir Darsono MSi (Universitas Sebelas Maret, Surakarta), Prof DR Djoko Mursinto MEc (Universitas Airlangga, Surabaya), Prof Dr Tulus Tambunan (Universitas Trisakti, Jakarta), Prof DR Munawar Ismail DEA (Universitas Brawijaya, Malang), Dr Syamsudin (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Sari Wahyuni MSc PhD (Universitas Indonesia, Jakarta), DR D Wahyu Ariani MT (Universitas Kristen Maranatha Bandung) , DR Y Sri Susilo MSi (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Dr Agus Trihatmoko (Universitas Surakarta), DR. Ir. Bernaulus Saragih M.Sc (Universitas Mulawarman, Samarinda) dan Winata Wira SE MEc (Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepri).