Dewan Pakar ICMI: Pelibatan TNI di Pemberantasan Terorisme Bisa Memicu Junta Militer
"Kan jadi junta militer, miltier terlibat. Doktrin militer dengan polisi beda. Doktrin militer kan 'killed or to be killed'.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi Undang-Undang Terorisme sangat disarankan agar tidak memasukkan unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI).
TNI tidak boleh memiliki kewenangan dalam otoritas sipil apalagi jika kewenangan itu diatur dalam undang-undang.
Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Anton Tabah Digodoyo mengatakan pelibatan TNI akan mengakibatkan Indonesia bukan lagi negara demorkrasi. Bahkan, Indonesia bisa berubah menjadi negara junta militer.
"Kan jadi junta militer, miltier terlibat. Doktrin militer dengan polisi beda. Doktrin militer kan 'killed or to be killed' (membunuh atau dibunuh). Polisi itu sangat dilarang membunuh, kalaun enggak sangat darurat. Kalau pelibatan permanen yang rugi itu sipil," kata Anton Tabah Digdaya di Menteng, Jakarta, Sabtu (3/5/2017) .
Anton sebenarnya tidak menolak jika TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme. Namun, pelibatan TNI itu harus diatur dalam keputusan politik yang bersifat politik.
Kata Anton, cara ini juga pernah diterapkan di Amerika hingga pemerintahan Obama.
"Kalau pelibatan tentara ke otoritas sipil di masukkan ke undang-undang jadi permanen, Indonesia tidak demokrasi lagi karena tentara enggak boleh telribat di otoritas sipil," ungkap Anton.
"Boleh terlibat dengan keputusan politik yang hanya dua tahun. Kalau masih diperlukan, perpanjang lagi. Patriot act empat kali diperpanjang, Obawa awal itu masih berlaku," lanjut purnawirawan polisi berpangkat Brigadir Jenderal itu.
Sekadar informasi, pembahasan Revisi Undang-Undang Antiterorisme kini menyisakan 45 Masalah daftar Investaris Masalah (DIM).
Pasal-pasal tersebut diklasifikasikan sebagai pasal-pasal yang kontroversial atau sensitif, termasuk mengenai pelibatan TNI.