Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Penambahan Jumlah Kursi DPR Jadi 575

apakah penambahan tersebut bisa benar-benar menjawab keterwakilan masyarakat?

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Penambahan Jumlah Kursi DPR Jadi 575
KOMPAS IMAGES
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Pemilu menolak penambahan jumlah kursi DPR RI dari 560 ditambah menjadi 575 anggota.

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menanggapi kesepakatan

Pansus RUU Pemilu dan Kemendagri terkait penambahan kursi DPR dari 560 menjadi 575. Total penambahan 15 kursi.

"Penambahan ini tidak akan mengatasi ketidakadilan distribusi kursi DPR ke provinsi sebab dilakukan tanpa prinsip dan parameter yang jelas dan akuntabel mengenai bagaimana kursi akan dialokasikan ke provinsi," kata Titi mewakili Koalisi Masyarakat Sipil kepada Tribunnews.com, Senin (12/6/2017).

Bahkan menurut penelitian Indonesia Budget Center (IBC), penambahan kursi ini akan menambah beban keuangan negara sebesar Rp 59 miliar per tahun.

Rinciannya terdiri dari gaji, tunjangan, kendaraan dinas, staf ahli, dana reses, dan rumha aspirasi.

Poin ini penting, tegas Titi, untuk segera ditolak presiden, karena sangat tidak produktif jika dibandingkan uang Rp 56 miliar itu digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur yang masih belum merata.

Berita Rekomendasi

Penambahan itu juga semakin menjauhkan konsep bikameral yang setara dan juga melemahkan sistem presidensial karena Presiden mudah di-impeach.

Mengutip Kompas.com, Rabu (31/5/2017), penambahan kursi DPR RI menjadi polemik di masyarakat. Prinsip keterwakilan menjadi salah satu alasan utamanya.

Pemerintah dan DPR pun sepakat menambah 15 kursi DPR RI.

Namun, apakah penambahan tersebut bisa benar-benar menjawab keterwakilan masyarakat?

Plt Sekretaris Jenderal Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta menyayangkan penambahan kursi tersebut tak didasarkan kebutuhan.

"Yang disayangkan KIPP adalah tidak ada dasar kebutuhan yang sebenarnya, bukan pada angkanya, tapi realitas. Sehingga tidak terkesan bagi-bagi kursi," kata Kaka saat dihubungi Kompas.com, Rabu (31/5/2017).

Hal itu terlihat tidak runutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu).

Kaka menuturkan, seharusnya pembahasan dimulai dari penghitungan daerah pemilihan. Pada kenyataannya, jumlah daerah per dapil justru belum diketuk palu.

"Untuk (daerah) yang kursinya mahal ditambah satu kursi, rasionya dari mana? Akhirnya nanti utak atik dapil. Harusnya dapil dulu baru keluar," kata dia.

Adanya kompromi-kompromi yang dilakukan untuk meloloskan 15 kursi DPR RI tersebut, menurut dia, tak lantas menyelesaikan akar permasalahan sebenarnya, yakni representasi ideal sebuah kursi.

Bicara soal representasi ideal, kata Kaka, bukan dilihat dari mahal atau murahnya sebuah kursi DPR RI.

Mahal atau murahnya kursi merupakan hukum alam tentang ambang batas alamiah sebuah kursi.

Prinsip keterwakilan, menurut dia, salah satunya ditunjukan dari sinergitas DPR dan DPD. Keduanya seharusnya saling mengisi sehingga menjadi bikameral.

Namun, hal ini justru tak terlihat akan diakomodasi oleh Pansus RUU Pemilu. Bahkan, ada wacana untuk mengurangi kursi DPD RI.

"Di satu sisi mengatakan adanya masalah berkaitan dengan representasi ideal, tapi di sisi lain mengurangi DPD," ujar Kaka.

"Katanya tidak ada keterwakilan yang cukup. Sementara keterwakilan yang cukup, bisa di fill-in (isi) sebenarnya oleh DPD," kata dia.

Sementara itu, hasil jajak pendapat KedaiKOPI juga menunjukan bahwa mayoritas masyarakat tak menyetujui penambahan kursi DPR RI tersebut, yakni 81 persen dari total 200 responden.

Hasil jajak pendapat juga menyebutkan bahwa penambahan kursi tersebut dinilai tak akan berpengaruh terhadap kinerja DPR (73 persen).

"Penambahan kursi DPR juga dicitrakan tidak mempermudah komunikasi rakyat dengan anggota DPR," kata Founder KedaiKOPI, Hendri Satrio.

"Ada 80 persen responden yang menyatakan demikian,"ujarnya.

Adapun jajak pendapat tersebut dilakukan kepada 200 responden di Jabodetabek melalui sambungan telepon pada 27 dan 28 Mei 2017.

Responden dipilih acak dari data responden internal yang dimiliki KedaiKOPI.

Tingkat pendidikan responden adalah lulusan S1 81 Persen, lulusan D3 12 persen, lulusan S2 6 persen dan lulusan S3 2 persen. Semua responden berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas