Rapat dengan Pemerintah, Pansus Siapkan Skenario RUU Pemilu
Panitia Khusus (Panitia Khusus) RUU Pemilu akan menggelar rapat dengan pemerintah pada hari ini, Senin (19/6/2017).
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia Khusus (Panitia Khusus) RUU Pemilu akan menggelar rapat dengan pemerintah pada hari ini, Senin (19/6/2017).
Rapat rencananya dihadiriMenteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menkumham, Ketua KPU, Bawaslu dan DKPP membahas hasil lobi terhadap lima isu krusial.
Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengungkapkan sejumlah skenario terhadap rapat pada hari ini. Skenario pertama tercapainya kesepakatan terhadap hasil lobi lintas fraksi terhadap lima isu krusial.
Sehingga, pansus tinggal menetapkannya sebagai keputusan yang selanjutnya akan ditetapkan didalam rapat Paripurna DPR terdekat.
Skenario kedua, tidak tercapainya secara bulat terhadap lima isu krusial, hasil lobi tidak berhasil secara bulat. Terhadap kondisi ini, kata Lukman, pansus akan menetapkan paket paket sebagai variasi terhadap pilihan fraksi yang berbeda-beda.
Kemudian paket-paket yang berbeda ini bisa diambil keputusan di tingkat pansus bisa juga akan diambil keputusan di tingkat Sidang Paripurna DPR.
"Jika di tingkat paripurna maka pansus akan mempersiapkan kertas suara untuk di lakukan voting di tingkat pansus. Sementara jika mau diambil keputusan di tingkat pansus maka cukup dilakukan jejak pendapat dari perwakilan fraksi fraksi di pansus," kata Lukman melalui pesan singkat, Senin (19/6/2017).
Politikus PKB itu mengatakan pihaknya hanya akan mempersiapkan agenda voting di tingkat Sidang Paripurna terdekat bila dua skenario tersebut tidak tercapai. Lukman menuturkan voting akan dilakukan secara item per item kelima isu krusial tersebut.
"Supaya efektif maka akan didesain dengan 1 kertas suara, sehingga setiap anggota DPR dapat memilih 5 isu krusial dalam satu kesempatan, yang kemudian akan dilakukan rekapitulasi, sehingga hasil akhirnya adalah hasil rekapitulasi tersebut," kata Lukman.
Lukman menuturkan skenario itu ditempuh untuk menghindari terjadinya deadlock pembahasan di tingkat pansus. Apalagi pemerintah mengeluarkan opsi penggunaan UU Pemilu yang lama atau mengeluarkan Perppu untuk mengatasi kondisi deadlock.
"Walaupun Perppu maupun kembali ke UU lama adalah mekanisme yang di lindungi oleh konstitusi tetapi secara normatif dan substansi akan menimbulkan persoalan konstitusional yang berat yang implikasinya sangat luas," ujar Lukman.
Dilihat dari substansi, Lukman menuturkan isu krusial yang menimbulkan jalan buntu antara fraksi-fraksi dan pemerintah adalah soal Presidential Treshold.
Lukman mengungkapkan persolan tersebut sebenarnya masih menimbulkan perbedaan tafsir konstitusional.
Ia menyebutkan hampir seluruh ahli ahli Tata Negara menyatakan penerapan ambang batas presiden pada pemilu serentak melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi. Hanya sebagian kecil yang menyatakan ini sebagai Open Legal Policy.
"Bahkan terakhir Prof Jimly Asshidiqie, mantan Ketua DKPP menyatakan ambang batas Presiden tidak relevan pada pemilu serentak," kata Lukman.
Menurut Lukman, eskalasi politik akan liar bila pemerintah menerbitkan Perppu atau menyatakan negara dalam keadaan genting.
Karena pemilu, termasuk pilpres, kata Lukman, adalah agenda yang sangat penting, menyangkut keberlangsungan kepemimpinan nasional, pemerintahan dan menyangkut keutuhan bangsa dan negara.
"Maka tidak boleh main main dengan menganggap enteng persoalan azas konstitusionalitasnya.
Keinginan mempertahankan kekuasaan, maupun keinginan merebut kekuasaan harus dikesampingkan demi stabilitas politik, kata Lukman.
"Pemaksaan kehendak hanya akan mendorong bangsa dan negara ini menuju situasi krisis konstitusi," tambahnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.