Mahfud MD Bernostalgia Lebaran di Kampung, Absen Jadi Khatib
Meskipun mengaku setiap lebaran dirinya mudik ke Madura tetapi Mahfud mengaku lebaran tahun ini agak berbeda.
Editor: Johnson Simanjuntak
Sejak berumur 8 tahun Mahfud sudah menjadi santri di pondok pesantren Almardhiyyah, Waru, Pamekasan. Pendidikan formalnya di sekolah-sekolah negeri selalu dirangkap dengan sekolah agama atau madrasah diniyyah.
“Makanya saya menghimbau agar madrasah diniyah dibina, jangan sampai punah karena pemerintah keliru mengatur. Madrasah diniyyah itu sangat baik”, katanya.
Hampir setiap tahun Mahfud selalu berkhutbah hari raya di berbagai tempat seperti di Masjid Al-Azhar, Kampus UI Rawamangun, Kampus UGM Bulaksumur, Masjid Almarkaz Makassar, Mesjid Agung Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Madura, dan berbagai tempat lain.
Tapi tahun 2017 ini Mahfud memilih tak berkhuthbah.
“Tahun ini saya menolak semua permintaan menjadi khatib ied karena saya ingin bernostalgia salat di kampung, tempat saya salat ied ketika remaja dulu." katanya.
Yang terpaksa kecewa karena Mahfud menolak untuk menjadi khatib salat ied tahun ini misalnya Jamaah Masjid Bank Indonesia, kaum muslimin di kompleks Pondok Indah, Bantul, Bekasi, dan sebagainya.
Mahfud mengaku sudah merindukan getaran hati bertakbir hari raya dan salat ied dengan suasana kampung.
“Kalau di kampung terasa sangat mengharukan, menggetarkan, dan begitu dekatnya rasa persaudaraan antar keluarga dan tetangga”, katanya.
Mahfud mengatakan yang paling mengesankan kalau berhari raya dengan keluarga besarnya adalah ketika berbuka Ramadhan hari terakhir atau di malam hari raya sambil lesehan.
“Kadang saling berebutan sambal terasi yang aromanya sangat memancing selera”, katanya sambil tergelak. Besoknya setelah salat ied bisa bercengkerama dengan keluarga besar sambil makan rujak dan keripik Madura untuk kemudian berziarah dan bersilaturrahim dengan saudara-saudara. “Sungguh menyenangkan”, kata Mahfud memungkasi pembicaraan.