Ormas Tidak Setuju Dengan HTI Pun Ikut Terancam Peprpu Nomor 2 Tahun 2017
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa, menyebut perppu tersebut sebagai sebuah kemunduran.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Melalui Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017, atas Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan (ormas), pemerintah mencoba menyederhanakan mekanisme pembubaran ormas.
Jika di UU tentang ormas diatur bahwa ormas punya kesempatan tiga kali peringatan, lalu mendapatkan peringatan berupa penghentian kegiatan, hingga akhirnya proses berlanjut ke persidangan jika belum ada titik temu juga, di Perppu nomor 2 tahun 2017, semua pasal di UU ormas terkati mekanisme persidangna dihapus.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa, menyebut perppu tersebut sebagai sebuah kemunduran. Pasalnya kewenangan pembubaran ormas hanya diletakan di tangan kementerian terkait yang mengesahkan ormas tersebut, yakni Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Kementerian Dalam Negri (Kemendagri).
"Kemunduran bagi demokrasi, kemunduran juga bagi pemerintahan Jokowi, karena ini justru akan menegaskan pemerintah sangat powerfull (red: kuat) dalam melakukan penertiban ormas, dan ini mengancam demokrasi," ujarnya saat dihubungi.
DI UU ormas, diatur bahwa ormas yang dianggap bermasalah, punya kesempatan mendapatkan tiga kali peringatan. Setelahnya ormas tersebut akan dihentikan pembiayaannya, lalu diperintahkan menghentikan kegiatan. Jika belum ada titik temu, proses selanjutnya berlangsung di persidangan.
Untuk menggugat pembubaran ormas di persidangan, Kemenkumham harus meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA). Setelahnya Kemenkumham akan meminta Kejaskaan untuk mendaftarkan gugatan ke pengadilan setempat. Dalam mekansime yang diatur di UU ormas, menurut Alghiffari Aqsa terdapat banyak celah bagi ormas untuk mengajukan pembelaan.
Di perppu nomor 2 tahun 2017, menurutnya celah untuk banding atau mengajukan pembelaan tidak dijelaskan.Di perppu tersebut diatur bahwa pemerintah berhak memberikan satu kali peringatan, lalu memerintahkan penghentian kegiatan, kemudian mencabut pengesahan ormas tersebut.
"Ini mengabaikan prinsip keadilan, karena setiap warga negara atau badan hukum berhak melakukan klarifikasi, banding setiap tuduhan ataupun kepputusan dari pemerintah. (DI perppu) ini tidak ada," katanya.
Yang harus dikhawatirkan dalam kewenangan tersebut, adalah penyalahgunaan kewenangan. Bisa saja suatu ormas tidak seperti yang dituduhkan pemerintah, namun ormas tersebut akhrinya terpaksa menerima sanksi, karena kesempatan untuk membela diri hampir tidak ada.
Perppu tersebut tidak hanya mengancam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dipercayai memicu pemerintah mengeluarkan perppu tersebut. Menurut Alghiffari Aqsa organisasi sipil lain yang kritis terhadap pemerintah, bahkan mereka yang menolak HTI serta konsep khilafah, juga ikut terancam.
"Bukan cuma HTI saja yang terancam, tapi ormas lain yang bahkan tidak sepakat dengan HTI, yang oleh pemerintah dianggap bertentangan dengan Pancasila, juga akan terancam," katanya.