Sistem Perekonomian Nasional Seharusnya Bukan Wacana Lagi
Simposium Nasional Sistem Perekonomian Nasional dengan sembilan butir rekomendasi seharusnya tak berhenti pada wacana.
Penulis: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Simposium Nasional Sistem Perekonomian Nasional yang diadakan oleh MPR dengan sembilan butir rekomendasi seharusnya tidak berhenti pada wacana.
Alasannya butir-butir yang dihasilkan itu telah diketahui oleh pemerintah dan rakyat Indonesia sebagai suatu masalah utama tidak tercapainya kemakmuran sebesar-besarnya untuk rakyat Indonesia.
Paling penting dari itu semua adalah bagaimana isi pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan secara nyata dan mencari strategi yang tepat untuk meluruskan kembali praktik-praktik yang menyimpang dari amanat UUD NRI Tahun 1945 itu.
Demikian ditegaskan oleh Tim Ahli Ekonomi Indonesia Raya Incorporated (IRI), Prof DR Munawar Ismail DEA dari Universitas Brawijaya dan DR Agus Trihatmoko MBA MM dari Universitas Surakarta, Kamis (13/7/2017).
Keduanya mewakili Tim Ahli ekonomi IRI dari 14 perguruan tinggi seluruh Indonesia yang hadir dalam simposium nasional yang berjudul “Sistem Perekonomian Nasional Untuk Menwujudkan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”, Rabu (12/7/2017).
IRI adalah konsep baru pemerataan kemakmuran berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 melalui perkawinan antara pemerintah pusat (BUMN) dan pemerintah daerah (BUMD baik provinsi ataupun kabupaten) di suatu sumber ekonomi yang melibatkan penyertaan modal dari pemerintah daerah (BUMD provinsi dan kabupaten) seluruh Indonesia.
Konsep IRI yang diusulkan oleh Ketua Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) AM Putut Prabantoro, saat ini sudah berada di Dewan Pertimbangan Presiden dan diyakini dapat diimplementasikan.
Menurut Munawar, materi yang dibahas dalam simposium tidak ada yang baru. Yang diperlukan oleh bangsa dan rakyat Indonesia adalah, pasal 33 UUD 1945 direalisasikan, termasuk di dalamnya adalah menganulir undang-undang atau peraturan pelaksana yang tidak sesuai dengan semangat UUD 1945.
“Sebagai contoh bagaimana rakyat dan daerah juga dilibatkan dalam pembangunan nasional, tidak hanya BUMN tetapi juga BUMD atau BUMDes, misalnya dalam pengelolaan SDA termasuk migas," ujar Munawar dalam keterangannya kepada redaksi Tribunnews.com, Kamis (13/7/2017).
Menurut dia tanpa melibatkan rakyat dalam pengelolaan SDA, kemakmuran hanya milik para pemodal.
Padahal kalau pemerintah, Munawar menjelaskan, badan usaha milik baik negara atau daerah menguasai SDA artinya secara tidak langsung Indonesia memegang kontrol dan kendali atas sumber perekonomian lainnya mengingat energi merupakan sumber ekonomi strategis.
Dikatakan dia, kesenjangan atau ketimpangan ekonomi di Indonesia terjadi karena seluruh sumber ekonomi baik strategis ataupun bukan tidak dikuasai oleh negara.
Pertanyaan berikutnya, solusi terbaik bagaimana dapat digunakan untuk mengembalikan kedaulatan negara atas sumber-sumber ekonominya terutama yang menguasai hajat hidup orang banyak. Solusi inilah yang kemudian akan menjadi cara mengatasi ketimpangan dan kesenjangan kesejahteraan.
Selain itu, Munawar menjelaskan lebih lanjut, untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran bersama tersebut, undang-undang yang mengatur tata kelola sumber daya alam (seperti UU Migas, UU Miberba dll) serta undang-undang yang mengatur pengelolaannya (UU BUMN, UU APBN dll) harus mengejawantahkan peran serta seluruh elemen bangsa baik pusat maupun darah, seperti kepemilikan saham suatu sumber ekonomi oleh BUMN, BUMD.
Peran serta di sini harus dalam bentuk nyata, sehingga pembangunan Good Corporate Governance (GCG) dan kemampuan SDM juga harus dikembangkan. Dengan demikian daerah bukan sebagai penonton apalagi alat segelintir orang yang memiliki modal besar.
Sementara Agus Trihatmoko menyoroti UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang sama sekali bertentangan dengan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 22 UU Penanaman modal itu menjelaskan bahwa pembuat undang-undang membiarkan negara Indonesia dijajah kembali.
“Bayangkan Hak Guna Usaha dapat sampai 180 tahun, Hak Guna Bangunan sampai 160 tahun dan hak pakai bisa sampai 140 tahun. Ini artinya kan menjual negara. UU Penanaman modal ini harusnya dianulir karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Sekalipun sudah ada keputusan MK terkait dengan pasal ini, namun substansinya juga tidak hilang,” ujar Agus.
Agus menjelaskan, seharusnya pemerintah dan DPR bersama-sama meninjau kembali sekaligus memperbaiki tidak sinkronnya antara UU pelaksana dan UUD NRI 1945.
Ketimpangan kesejahteraan dan ekonomi di Indonesia terjadi karena berawal dari peraturan yang tidak melaksanakan amanat dan bahkan bertentangan dengan jiwa UUD.
Ekonomi yang dilaksanakan berdasarkan usaha bersama dan berasas kekeluargaan, menurut Agus, sudah jelas makna dan sangat mudah penerjemahannya.
Hal yang sama juga terjadi pada frasa – cabang-cabang produk yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Konteks cabang-cabang produksi, seperti sembako dan listrik sebagai misal, inilah yang kemudian harus diartikan secara luas tetapi pada intinya harus dikuasai negara.
Tim ahli ekonomi IRI yang lain adalah, Prof Mudrajad Kuncoro PhD (Universitas Gadjah Mada), Prof Dr H Werry Darta Taifur SE MA (Universitas Andalas), Prof DR B Isyandi MS (Universitas Riau), Prof DR Ir Darsono MSi (Universitas Sebelas Maret, Surakarta), Prof DR Djoko Mursinto MEc (Universitas Airlangga, Surabaya), Prof Dr Tulus Tambunan (Universitas Trisakti, Jakarta), Dr Syamsudin (Universitas Muhammadiyah Surakarta) , Sari Wahyuni MSc PhD (Universitas Indonesia, Jakarta), DR D Wahyu Ariani MT (Universitas Kristen Maranatha Bandung), DR Y Sri Susilo MSi (Universitas Atma Jaya Yogyakarta), DR. Ir. Bernaulus Saragih M.Sc (Universitas Mulawarman, Samarinda) , Winata Wira SE MEc (Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepri)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.