KPK Tak Perlu Takut Hadapi Badai Politik Pascapenetapan Setnov Tersangka
Semoga ini jadi pembuka jalan untuk menjerat aktor-aktor "kakap" lain," ujar aktivis antikorupsi
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penetapan Ketua DPR RI Setya Novanto (SN) sebagai tersangka merupakan langkah maju yang dilakukan KPK.
Karena KPK membuktikan soal adanya dugaan keterlibatan pejabat berpengaruh dalam korupsi E-KTP.
"Semoga ini jadi pembuka jalan untuk menjerat aktor-aktor "kakap" lain," ujar aktivis antikorupsi, Hendrik Rosdinar, kepada Tribunnews.com, Selasa (18/7/2017).
Menurut Manajer Advokasi Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA) ini, KPK harus yakin bahwa publik percaya mereka dan mendukung kerja mereka.
Untuk itu pula, ia meminta KPK tidak perlu takut dengan badai politik yang bakal menerpa mereka pasca-penetapan SN sebagai tersangka.
Karena menurutnya, akan ada perlawanan-perlawanan yang akan terjadi kedepan, setelah KPK menetapkan SN sebagai tersangka.
Lebih lanjut kata dia, setelah ditetapkan sebagai tersangka, SN harus mundur dari Ketua DPR.
"Secara sistem, MKD juga dapat mengambil langkah inisiatif dengan memberhentikan jabatan SN dari Ketua DPR," jelasnya.
"Ini demi menjaga marwah lembaga DPR," ucapnya.
Nama Novanto sendiri telah muncul dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto. Keduanya merupakan bekas pejabat Kemendagri yang telah duduk di kursi pesakitan.
Novanto disebut-sebut bersama-sama Irman, Sugiharto, Andi Narogong, mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraini dan Drajat Wisnu, Direktur PNRI Isnu Edhi Wijaya, terlibat melakukan korupsi proyek e-KTP.
Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR disangka telah mengkondisikan dalam pengadaan barang dan jasa proyek e-KTP.
KPK jelaskan, Setya Novanto diduga memiliki peran dalam setiap proses pengadaan e-KTP. Mulai dari perencanaan hingga, pembahasan anggaran, hingga pengadaan barang dan jasa.
Akibat perbuatannya, Novanto yang kini menjabat sebagai Ketua DPR disangka melanggar Pasal 3 atau 2 ayat 1 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.