Warga Ahmadiyah di Kuningan Tidak Punya KTP, Kini Hidup Menderita
Tak adanya kartu identitas, membuat kehidupan warga Ahmadiyah Manislor, serba sulit. Sudah lima tahun terakhir mereka hidup tanpa kartu itu.
TRIBUNNEWS.COM – Sebagian orang mungkin tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk mendapatkan Kartu Identitas Penduduk (KTP). Namun, tidak begitu bagi ribuan warga Ahmadiyah di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat.
Mereka mesti hidup tanpa identitas atau tak ber-KTP.
Dampaknya, segala kegiatan seperti pendidikan, kesehatan, sampai bepergian, jadi terhambat. Itu mengapa beberapa waktu lalu mereka mengadu ke Kementerian Dalam Negeri atas nasibnya.
Lalu, bagaimana hasilnya? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Berawal pada 2012, warga Desa Manislor melakukan perekaman data kependudukan untuk dibuatkan e-KTP. Berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun KTP elektronik itu tak pernah diberi dengan alasan blanko habis.
Sampai pada Maret 2015, Bupati Kuningan meminta saran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kuningan tentang pencatuman kolom agama bagi warga Ahmadiyah. Jawaban MUI bisa ditebak, lembaga ini menolak jika dicantumkan agama Islam.
Tak adanya kartu identitas, membuat kehidupan warga Ahmadiyah Manislor, serba sulit. Sudah lima tahun terakhir mereka hidup tanpa kartu itu.
Nuni misalnya. Beberapa bulan lalu, dia batal mendaftar ke Politeknik Ilmu Pelayaran karena salah satu syarat pendaftaran harus mencantumkan fotokopi e-KTP. Sementara selembar kertas berisi keterangan domisili yang diberikan Dinas Dukcapil Kuningan, tak mempan.
Ia juga sempat mendatangi Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, namun tak kunjung menemui orang yang dicari: Zudan Arif, Dirjen Kependudukan di Kementerian Dalam Negeri.
“Waktu saya pergi ke Disdukcapil, pas dipanggil di loket, pertanyaan pertama, “Kamu Ahmadiyah bukan?” Saya pikir, kenapa pertanyaan itu datang? Saya sama papa saya disuruh baca dua kalimat syahadat,” cerita Nuni.
“E-ktp itu kan identitas warga Indonesia. Jadi kalau saya nggak dapat, saya merasa dipertanyakan status kewarganegaraannya. Saya warga negara mana dong?”
Kerumitan administrasi juga menimbulkan trauma bagi Hardiyanto.
Dua tahun lau, ia gagal mengurus BPJS untuk anak perempuannya yang berusia sebulan. Padahal, anaknya membutuhkan pertolongan segera karena mengalami pendarahan di otak.
BPJS anak Hardiyanto baru bisa dikeluarkan setelah sang bocah dimasukkan ke kartu keluarga orangtuanya. Namun semua itu terlambat, anaknya meninggal.
Korban lain, Lika. Dia tak sampai mengerti dengan sikap pemda. Lika bercerita, tahun lalu ketika ada stan pencetakan e-KTP massal –yang dibuka untuk memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kuningan, petugasnya terang-terangan menolak Lika.
Ketiadaan kartu identitas, berdampak pada sempitnya ruang geraknya. Suatu kali, ia pergi dengan ayahnya menggunakan kereta api. Tapi, saat di konter masuk, surat keterangan domisili yang diberikan Dinas Dukcapil Kuningan, ditolak.
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan, mengklaim apa yang mereka lakukan demi menjaga keamanan warga Ahmadiyah Manislor. Kepalanya, Zulfikar, mengaku ada banyak tekanan dari sejumlah ormas Islam –yang memaksa mereka tak mencantumkan agama Islam di KTP warga Ahamdiyah.
“Kalau kolom agamanya dikosongin saja, itu sudah selesai. Fatwa MUI memang bukan dasar hukum tapi itu jadi patokan terutama oleh tokoh-tokoh garis keras. Yang dikhawatirkan terjadi kerusuhgan lagi seperti tahun 2012.”
Dan memang, Desa Manislor menyimpan sejarah kelam. Pada Juli 201o silam, terjadi penyerangan terhadap warga Ahmadiyah. Dimana massa menyerang dan merusak pemukiman warga dengan batu. Akibatnya, satu masjid dan tujuh mushala milik Ahmadiyah disegel.
Tak mau kejadian serupa berulang, Zulfikar, meminta mereka menyetujui pernyataan tertulis yang isinya menyatakan beriman kepada Islam dengan dua kalimat syahadat dan siap untuk dibina.
Tahun-tahun berlalu, warga Manislor tidak tahu sampai kapan identitas mereka dijamin hanya dengan selembar kertas.