Demokrat: Sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara Tidak Perlu Kebakaran Jenggot
Akal dan nalar sehat, sangat jelas dapat menjelaskan, bagaimana menetapkan presidential threshold
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto menyayangkan pernyataan Jokowi yang membandingkan penggunaan presidential threshold pada 2014 dengan pemilu 2019 mendatang.
Didik menganggap Jokowi telah menyederhanakan persoalan yang berbeda normanya dengan logika dan nalar yang sangat subyektif dan tidak rasional.
"Sungguh menggelikan apa yang disampaikan Pak Jokowi terkait penetapan presidential threshold dalam UU Penyelenggaraan Pemilu," kata Didik dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/7/2017).
Penetapan presidential threshold dalam Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, lanjut Didik, sangat berbeda norma, logika, dan implikasi struktur politik yang melandasinya. Sebab, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan serentak pada 2019.
"Akal dan nalar sehat, sangat jelas dapat menjelaskan, bagaimana menetapkan presidential threshold di kala Pileg dan Pilpres dilakukan serentak," ucap Didik.
Karena serentak, lanjut dia, maka hasil pileg tidak bisa digunakan sebagai ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol mencalonkan presiden dan wakil presiden. Pemerintah pun mengakalinya dengan menggunakan hasil pileg 2014 lalu.
Namun, Didik menilai hasil Pileg 2014 sudah kehilangan legitimasinya apabila dijadikan dasar penetapan presidential threshold pada Pilpres 2019. Selain sudah dijadikan dasar pada Pilpres 2014, juga bisa menistakan siklus kepemimpinan nasional.
"Dengan melandaskan Pilpres 2019 kepada hasil Pileg 2014, memberikan makna bahwa siklus kepemimpinan nasional yang selama ini dalam ketatanegaraan dan konstitusi kita selama 5 tahun, akan bisa begeser kepada siklus 10 tahun. Tentu kalau ini yang terjadi maka akan melanggar konstitusi kita," kata Didik.
Didik juga menyayangkan pernyataan Jokowi yang menyebut UU sebagai produk di DPR. Didik mengingatkan, sesuai dengan konstitusi, kewenangan membuat UU dilakukan oleh DPR bersama-sama Pemerintah. Belum lagi, RUU Penyelenggaraan Pemilu adalah inisiatif Pemerintah.
Selain itu, dalam pembahasan, pemerintah lah yang sejak awal keukeuh menginginkan presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara sah nasional.
Atas dasar itulah, pasca penetapan presidential threshold 20-25 Persen, menjadi keharusan bagi Demokrat menegakkan mandatori konstitusi.
"Sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara tidak perlu kebakaran jenggot dengan subyektifitasnya. Sebagai Presiden, sudah seharusnya Jokowi bisa memberikan pembelajaran dan legacy yang baik, cerdas dan punya nilai edukatif apabila ingin menjadi negarawan," ucap Didik.
Jokowi sebelumnya mempertanyakan pihak yang memprotes ketentuan presidential threshold 20-25 persen. Padahal, menurut Jokowi, aturan itu sudah ada sejak pilpres 2014 dan 2009.
"Kenapa dulu tidak ramai? Dulu ingat, dulu (Gerindra dan Demokrat) meminta dan mengikuti (presidential threshold 20-25 persen), kok sekarang jadi berbeda?" ucap Jokowi saat dicegat wartawan usai menghadiri peluncuran program pendidikan vokasi dan industri, di Cikarang, Jumat (28/7/2017).
Hal ini disampaikan Jokowi merespons pertemuan SBY dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Dalam jumpa pers usai pertemuan itu, Prabowo yang didampingi SBY, menyebut presidential threshold adalah lelucon untuk membodohi rakyat. Namun, saat ditanya wartawan mengenai pileg dan pilpres 2019 digelar secara serentak, Jokowi tidak menjawabnya. Ia hanya mengulang pernyataan yang sudah ia berikan.
"Ya kan ini mempertanyakan presidential tresshold 20 persen, kenapa dulu tidak ramai? Penyederhanaan sangat penting sekali dalam rangka visi politik kita ke depan," jawab Jokowi.(Ihsanuddin)
Berita ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul: Demokrat: Sungguh Menggelikan Apa yang Disampaikan Pak Jokowi