Pansus KPK Sambangi Safe House di Depok
Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Tugas dan Wewenang KPK pada Jumat (11/8/2017), mendatangi safe house milik KPK di Depok dan Kelapa Gading. Inspe
Penulis: Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Tugas dan Wewenang KPK pada Jumat (11/8/2017), mendatangi safe house milik KPK di Depok dan Kelapa Gading. Inspeksi mendadak (sidak) itu untuk mengungkap pernyataan saksi kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Niko Panji Tirtayasa, terkait safe house.
Safe house di Depok merupakan tempat pertama yang dikunjungi rombongan.
Jarak tempuh dari DKI Jakarta 1,5 jam. Safe house terlihat seperti rumah pada umumnya. Yusman, warga Lenteng Agung, mengontrakkan rumah miliknya tersebut.
Berdasarkan pemantauan, rumah itu berukuran 60 meter persegi. Lokasi berada di pinggir jalan yang mudah terlihat oleh warga yang melintas. Bagian depan rumah didominasi cat warna oranye dengan paduan warna ungu.
Pagar depan rumah tingginya mencapai atap sehingga penampakan teras rumah tidak terlihat dari luar. Pagar dipasangi pelat fiber berwarna gelap. Namun terlihat ada lubang di pelat fiber itu sehingga penampakan teras rumah bisa dipantau.
Bagian teras rumah agak kotor, terlihat banyak jaring laba-laba di langit-langit rumah. Pintu rumah tertutup rapat, menunjukkan bila rumah itu sudah cukup lama tidak dihuni. Rumah baru dibuka oleh Nanang, selaku penjaga rumah, saat rombongan datang ke tempat itu.
Di dalam rumah terdapat tiga kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Terdapat fentilasi kamar untuk pertukaran udara. Sementara itu, di bagian belakang rumah, terdapat tanah kosong. Dari belakang rumah, terlihat sisi rumah dipasangi teralis tetapi bagian dalam rumah bisa tampak dari luar. Namun bagian yang tampak itu hanya berupa dapur dan kamar mandi yang pintunya tertutup.
Niko mengaku pernah bertempat tinggal di tempat itu pada Mei 2013 sampai Februari 2015. Selama berada di tempat itu, dia tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Bahkan, untuk keluar dari tempat itu menemui keluarga, dia mendapatkan pengawalan dari pihak KPK.
Dia merasa tidak aman dan nyaman berada di sana. Salah satunya karena jalan di tempat itu dilalui truk-truk sampah sehingga kerap mencium bau tidak sedap. Ini ditambah ventilasi untuk sirkulasi udara masuk-keluar di ruangan agak kurang. Bahkan, di teras rumah ditaruh barang-barang sehingga menyulitkan berjalan.
"Saya dibatasi tidak boleh mengobrol. Tidak bebas berhubungan dengan pihak luar dan tidak bisa komunikasi dengan keluarga. Tidak boleh keluar. (Pertemuan dengan keluarga,-red) yang mempertemukan pengawal," kata Niko.
Meskipun ada kamar, namun, dia mengaku tidak dapat tidur di kamar. Ini karena kalau hujan, kamar bocor. "Kamar itu tadi yang saya tunjukkan. Kalau hujan itu tidak bisa tidur. Makanya di (ruangan,-red) tengah," keluh dia.
Pemilik rumah Yusman, membenarkan ada yang mengontrakkan rumahnya pada tahun 2014 sampai 2015. Harga rumah kontrakan itu satu bulan mencapai Rp 2,5 juta atau 25 juta per tahun. Namun, dia mengaku tidak ingat siapa yang tinggal di rumahnya tersebut.
"Saya sudah tidak ingat siapa saja yang mengontrak di tempat saya. Kalau ada buktinya mungkin saya bisa ingat lagi yang bersangkutan pernah mengontrak di tempat yang dimaksud. Pada 2014-2015, sudah dikontrakkan, tetapi saya sudah tidak ingat siapa saja yang mengontrak pada saat itu," kata Yusman.
Setelah dikontrakkan pada tahun itu, rumah itu kosong. Menurut Nanang, penjaga rumah, dia tak pernah melihat orang masuk ke rumah itu kecuali pemilik rumah yang datang setiap hari Sabtu.
Pansus Angket KPK gagal mengecek rumah kedua yang disebut Niko rumah sekap di Jl. Kuda Lumping, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pansus tak berhasil menghubungi pemilik rumah yang mengunci pagar.(*)