Anggota Komisi I DPR: Prosedur Pengadaan Heli AW-101 Sudah Benar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan bos PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Nasdem Supiadin Aries Saputra mengatakan, proyek pengadaan helikopter Augusta Westland (AW)-101 tidak menyalahi prosedur.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan bos PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.
Masalahnya ada pada proses penunjukkan PT Diratama Jaya Mandiri sebagai vendor proyek tersebut yang diduga telah dilakukan secara melawan hukum.
Irfan sebagai bos PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter AW-101 di TNI AU tahun anggaran 2016-2017.
"Proses pengadaannya sudah benar. Bukan soal prosedur. Karena saya sudah tanya ke Agus (Marsekal TNI Purn Agus Supriatna), KSAU lama. Kalau saya baca keterangan danpuspom dan Panglima. Disitu ada seslisih harga mark up. Itu masalahnya. Prosedur bener kalau enggak. Nggak mungkin itu pesawat ada disini," kata Supiadin dalam diskusi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Selain itu dirinya menjelaskan, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) belum menemukan adanya kerugian negara, seperti yang disangkakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
"Ya itu lah, kita akan tanyakan kepada Panglima (Gatot Nurmantyo) kenapa kerugian negara, karena secara prosedur tidak ada masalah, kalau prosedur tidak dijalani tidak mungkin pesawat itu sampai ke sini. Jadi prosedurnya sudah benar," katanya.
Menurutnya, jika ditemukan adanya kerugian negara, seharusnya diserahkan kepada angkatan diinternal lebih dulu, jangan langsung mempublikasikan bahwa ada kerugian negara.
"Penggunaan anggaran itu sama, tapi dalam pengusulan Alutsita ada pada masing-masing angkatan. Tapi pengusulan itu harus di bawah pengawasan panitia, pengusul dan pengadaan yang di bawah oleh Panglima TNI dan Menhan, jadi seharusnya panglima TNI sudah tahu, tidak ada pengajuan Alutsita tiba-tiba datang ke sini Mabes TNI tidak tahu itu tidak masuk akal," katanya.
Pada April 2016, TNI AU mengadakan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus atau proses lelang yang harus diikuti oleh dua perusahaan peserta lelang. Irfan selaku Presdir PT Diratama Jaya Mandiri dan diduga pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikutsertakan dua perusahaan miliknya tersebut dalam proses lelang ini.
Padahal, sebelum proses lelang berlangsung, Irfan sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak USD 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar. Sementara saat ditunjuk sebagai pemenang lelang pada Juli 2016, Irfan mewakili PT Diratama Jaya Mandiri menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar. Akibatnya, keuangan negara diduga dirugikan sekitar Rp 224 miliar.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.