Parpol Pendukung Dikhawatirkan Tidak Konsisten Dukung Jokowi di Pilpres 2019
Parpol pendukung pemerintah saat ini dikhawatirkan tidak konsisten memberikan dukungan kepada Joko Widodo mencalonkan di Pilpres 2019.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai politik (parpol) pendukung pemerintah saat ini dikhawatirkan tidak konsisten memberikan dukungan kepada Joko Widodo mencalonkan di Pilpres 2019 mendatang.
"Konsistensi parpol ini patut diuji," kata pengamat politik Ray Rangkuti ketika dikonfirmasi, Rabu (13/9/2017).
Saat ini sejumlah partai politik pendukung seperti Golkar, PPP dan Hanura mulai mewacanakan dukungan ke Jokowi di Pilpres 2019.
Hal ini untuk memenuhi syarat presidential treshold (PT) 20-25 persen agar bisa mencalonkan Jokowi sebagai presiden sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.
Jika partai tersebut tidak konsisten dengan dukunganya maka tidak menutup kemungkinan suara partai untuk Jokowi di Pilpres tidak mencukupi 20-25 persen.
"Oleh karena itu partai tidak boleh main-main memberikan dukungannya. Jangan sampai last minute berubah dukungan," ujar Ray.
Baca: Pengamat: Hati-hati Jebakan Presidential Treshold untuk Jokowi
Jika hal itu terjadi, menurut Ray, jelas merugikan partai itu sendiri sebab pemilu serentak membutuhkan dukungan kepada calon presiden sedini mungkin.
"Kalau ada tawar-menawar yang dirugikan partai itu sendiri," ujarnya.
Bagaimana jika partai cenderung 'menyandera' Jokowi dengan tawar-menawar suara ini?
"Partai harus serius sebab tahapan pemilu sudah dimulai Oktober nanti," ujarnya.
UU Pemilu telah ditandatangani Presiden Jokowi. Namun sejumlah kalangan masih mempersoalkannya dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Poin yang digugat dari UU Pemilu diantaranya mengenai syarat mengajukan calon presiden atau Presidential Threshold (PT) sebesar 20-25%.
Menurut Ray, UU Pemilu sebenarnya persoalan yang harusnya mendapat perhatian luas dari publik. Namun melihat realitas kekinian, tampaknya publik muali jenuh dengan persoalan politik.
"Agar menjadi persoalan publik harusnya parpol terus mewacanakan masalah ini," ujarnya.
Terpisah, peneliti dari Lingkar Studi Elektoral (LSE) Abi Rekso menilai Presiden Jokowi patut mewaspadai akan tiga hal krusial terkait dengan Presidential threshold 20-25% ini.
Pertama, Presiden Jokowi belum tentu bisa menjaga skema dukungan partai politik yang kini berada bersama pemerintah (PDI-P, Hanura, NasDem PKB, PKPI, PPP dan P-Golkar).
"Konteks ini sama halnya pada pertarungan legeslatif sebelumnya, ternyata PDI-P sebagai Partai pemenang tidak bisa menjadi ketua DPR-RI. Itu artinya tidak ada jaminan mutlak akan jumlah komposisi dukungan suara," ujarnya.
Kedua, sikap DIAM dari kelompok partai oposisi (Gerindra, PKS dan PAN) juga harus diwaspadai oleh Presiden Jokowi. Sikap mereka yang berseberangan dengan Presidential Threshold 20-25%, tidak tercermin dengan kegigihan mereka melawan keputusan itu.
"Bisa jadi mereka justeru mengambil keuntungan dengan menumpang pada isu 20-25% atau ada SKENARIO yang disiapkan secara khusus sebagai kejutan stunami politik untuk Presiden Jokowi. Kejutan ini bisa jadi akan menjadi sejarah politik baru, dimana presiden dengan tingkat kepuasan rakyat yang sangat tinggi, tetapi tidak dapat maju periode kedua karna tidak memiliki kendaraan politik," ujar Abi Rekso.
"Bisa jadi mereka justeru mengambil keuntungan dengan menumpang pada isu 20-25% atau ada SKENARIO yang disiapkan secara khusus sebagai kejutan stunami politik untuk Presiden Jokowi. Kejutan ini bisa jadi akan menjadi sejarah politik baru, dimana presiden dengan tingkat kepuasan rakyat yang sangat tinggi, tetapi tidak dapat maju periode kedua karna tidak memiliki kendaraan politik," ujar Abi Rekso.