Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penyergapan Kepala Daerah Melalui OTT KPK Cermin Kegagalan Sistem Pencegahan Korupsi

Bambang Soesatyo menilai, penyergapan sejumlah kepala daerah melalui OTT oleh KPK lebih mencerminkan kegagalan sistem pencegahan korupsi.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Penyergapan Kepala Daerah Melalui OTT KPK Cermin Kegagalan Sistem Pencegahan Korupsi
KOMPAS IMAGES
Bambang Soesatyo 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi III Bambang Soesatyo menilai, penyergapan sejumlah kepala daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK lebih mencerminkan kegagalan sistem pencegahan korupsi.

Menurutnya, pemberantasan korupsi yang terfokus pada penindakan tidak akan mereduksi praktik korupsi, baik sekarang maupun yang akan datang.

"Maka, sambil melanjutkan kegiatan penindakan yang berkualitas, KPK perlu memberi prioritas pada sistem pencegahan korupsi. Cukuplah sudah KPK bertindak seperti polisi lalu lintas yang bersembunyi di semak-semak di tikungan jalan untuk mendapat tangkapan (OTT) pengendara yang melanggar rambu lalu lintas. KPK adalah Burung Garuda yang mangsanya besar-besar. Bukan burung perkutut," kata Bambang lewat pesan singkat yang diterima Tribunnews, Senin (18/9/2017).

Bambang mendorong KPK untuk melakukan langkah-langkah besar dengan menangani pekerjaaan atau kasus-kasus korupsi besar yang tidak bisa diselesaikan atau dipecahkan di Kepolisian maupun di Kejaksaan.

Baca: Panggilan Kedua, KPK Berharap Setya Novanto Kooperatif

"Kalau hanya mengandalkan OTT saja, ya kasihan negara ini. Ibarat menembak nyamuk pakai meriam," katanya.

BERITA TERKAIT

Dia menyoroti dana yang sangat besar dikeluarkan negara untuk membayar para penyidik, pimpinan dan pegawai KPK.

Termasuk biaya operasional, tunjangan, fasilitas sarana dan prasarananya serta kewenangan yang luar biasa dibandingkan dengan dua institusi penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.

"OTT itu 'murah meriah'. Jadi, Kalau KPK hanya menggelar OTT-OTT saja sebagai festivalisasi pemberantasan korupsi, tidak bisa dihindari adanya kesan KPK mau gampangnya saja karena hanya melakukan tindakan atau operasi 'murah meriah'. Dan itu tidak akan memberi efek jera yang signifikan," katanya.

Bambang mengajak untuk melihat data, selama 15 tahun KPK berdiri praktik-praktik koruptif semakin marak hampir disemua lini kehidupan bangsa ini.

"Memang Sudah puluhan kali KPK melakukan OTT. Target OTT pun tidak tanggung-tanggung," kata Bambang.

Bambang menyebut sejumlah nama, mulai Akil Mochtar yang disergap saat masih menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi.

Baca: Jasad Supriyanto Korban Kedua Terkaman Buaya Ditemukan saat Para Pawang Tinggalkan Lokasi

Ada pula sosok Patrialis Akbar yang disergap saat masih menjabat Hakim Konstitusi. Lalu ada sosok Irman Gusman yang disergap saat masih menjabat Ketua DPD.

Belum lagi penyergapan terhadap oknum hakim, oknum jaksa dan penegak hukum lainnya, termasuk oknum pejabat di Mahkamah Agung (MA).

Terakhir sasaran bergeser bupati dan wali kota terutama yang berasal dari PDIP dan Golkar.

Bagi masyarakat pada umumnya, target-target besar yang berhasil dijaring KPK itu menjadi bukti bahwa KPK memang tidak pandang bulu.

"Secara psikologis, kinerja KPK itu mestinya membuat siapa pun takut atau jera. Sayang, nyatanya efek jera tidak pernah muncul. Sebaliknya, oknum pemerintah dan oknum anggota parlemen terus bertambah," katanya.

Tidak adanya efek jera itu tampak sangat jelas dari rentetan OTT oleh KPK dalam beberapa pekan belakangan ini, Sabtu (16/9/2017) pekan lalu, giliran wali kota Batu yang berasal dari PDIP yang terjaring OTT KPK.

Dimana sebelumnya Bupati Batubara dari Golkar yang kena OTT. Bisa dipastikan bahwa akan ada lagi oknum pemerintah yang terjaring OTT KPK.

"Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah OTT telah melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana diatur dalam UU. Sebab, apa yang kerap terjadi dalam berbagai penangkapan itu benar-benar OTT atau jebakan?" katanya.

Bambang meyakini, apa yang dilakukan KPK sebelum penangkapan itu terjadi tidak mungkin tanpa penyadapan, perekaman, infiltrasi atau bahkan penyusupan.

Menurutnya, mereka yang jadi target operasi tersebut sebelum terjadinya penangkapan dalam OTT, jelas belum ada status kasusnya.

Apakah itu tingkat penyelidikan atau tingkat penyidikan. Padahal dasar untuk 'penyadapan' itu sebagai mana diatur dalam SOP KPK harus pada status penyelidikan (adanya bukti awal yang cukup) dan ditandatangani sekurang-kurangnya tiga dari lima pimpinan KPK yang ada.

"Jadi, bagaimana bisa menyadap atau OTT padahal tahapan penyelidikan saja belum. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah telah terjadi penyadapan liar atau illegal interception di KPK? Jika benar, hal ini adalah kejahatan," kata Bambang.

Lebih lanjut politikus Partai Golkar ini menjelaskan, jumlah penindakan atau OTT tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi.

"KPK perlu memberi prioritas dan fokus pada sistem pencegahan. Dalam merumuskan program pencegahan korupsi, KPK tidak mungkin bisa bekerja sendiri. Minimal, KPK harus bekerjasama dengan inspektorat jenderal pada institusi kementerian serta inspektorat daerah pada tingkat pemerintah daerah," katanta.

Sudah 15 tahun KPK diberi tugas memerangi korupsi. Namun, pemberantasan korupsi baru sampai pada tahap penindakan.

Menurutnya, banyaknya jumlah penindakan pun seharusnya dilihat sebagai aib atau kegagalan pemberantasan korupsi itu sendiri.

"Efek jera sangat minim karena peluang melakukan korupsi masih sangat terbuka. Peluang melakukan korupsi mestinya bisa diminimalisir jika ada sistem pencegahan yang efektif," kata Bambang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas