Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kesaksian Nugroho Notosusanto, Penulis Film G30S/PKI yang Melihat Penembakan di Rumah Jenderal Yani

Pada sore hari tanggal 30 September 1965, saya mengemasi tas saya dalam salah satu rumah Kompleks Grha Wiyata Yuddha, Seskoad Bandung.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Kesaksian Nugroho Notosusanto, Penulis Film G30S/PKI yang Melihat Penembakan di Rumah Jenderal Yani
Kompas.com
Suasana pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun 1989. Monumen Pancasila Sakti dibangun di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. 

Tak lama kemudian datang berlari-lari beberapa prajurit berpakaian lengkap PDL-T (dengan topi baja dan “pakaian kuda”), tetapi mereka tidak membawa senjata.

Mereka langsung masuk ke kamar piket. Karena berada di luar ruangan, saya tidak mendengar apa yang mereka laporkan.  Tetapi beberapa saat kemudian, bintara Polisi Militer yagn bertugas itu berlari keluar dan masuk ke dalam gedung kemudian keluar lagi diiringi oleh beberapa bintara lain.

Kedengaran ribut sekali di ruang piket. Saya mendengar seorang berteriak, “Lebih baik kamu mati daripada mengawal sampai kebobolan!”

Kemudian mereka semua berlari keluar, meloncat ke dalam jeep yang sudah selalu tersedia, lalu pergi melintasi jembatan “Banjir kanal”.  Saya kemudian masuk ke ruang piket dan bertanya kepada seorang bintara tinggi yang bertugas di sana, apa yang telah terjadi.

Ia menerangkan bahwa rumah Pak Yani diserbu oleh suatu gerombolan bersenjata yang berseragam macam-macam.  Ada yang berseragam Cakrabirawa, ada yang berseragam loreng, ada yang berseragam hijau tanpa tanda pengenal apapun, dan ada pula yang berpakaian preman.

Kendaraannya pun bermacam-macam, ada kendaraan Cakrabirawa, ada pula bis yang berwarna putih. Mereka melakukan pendadakan terhadap pengawal, melucutinya lalu menyerbu ke dalam rumah.  Di sana mereka menembak Pak Yani lalu membawanya pergi. Demikian keterangan yang saya peroleh.

Segera terpikir oleh saya bahwa peristiwa yang sedemikian dahsyat, yakni penembakan dan penculikan terhadap Menteri Panglima Angkatan Darat, harus segera diketahui oleh Pak Nas (Jenderal A.H. Nasution) yang merupakan atasan saya yang tertinggi di SAB.

BERITA TERKAIT

Karena itu saya minta diri kepada bintara itu lalu segera berangkat menuju tempat kediaman Pak Nas di Jalan Teuku Umar 40.

Kami mengambil rute: Jalan Cik di Tiro – Jalan Diponegoro – Taman Suropati – Jalan Teuku Umar. Jalanan sepi menekan kami tidak melihat siapa-siapa.

Jalan Teuku Umar 40

Sesampai di depan rumah Pak Nas, kami melihat sekelompok orang telah berdiri di depan pintu gerbang. Saya turun dan segera menghampiri kelompok orang yang berdiri di dalam kegelapan dinihari itu.

Ternyata di antara mereka terdapat Mayor Jenderal (sekarang Letnan Jenderal) Umar Wirahadikusuma, pada waktu itu Pangdam V/Jaya. Beliau berpakaian PDH lengkap dengan satyalencana.

Pak Umar tampak heran melihat saya datang dan berkata, “Pak Nugroho! Kok malam-malam ada di sini?” (Beliau mengenal saya karena selaku Pembantu Rektor UI sering berhubungan dengan beliau selaku Pangdam V/Jaya mengenai urusan kemahasiswaan).

Saya segera melaporkan, bahwa karena mengalami suatu kecelakaan saya berada di markas Pomdam Jaya Guntur ketika Pak Yani ditembak dan diculik, sehingga mendengar laporan pengawal Pak Yani kepada piket Pomdam.

Halaman
1234
Sumber: Intisari
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas