Kesaksian Nugroho Notosusanto, Penulis Film G30S/PKI yang Melihat Penembakan di Rumah Jenderal Yani
Pada sore hari tanggal 30 September 1965, saya mengemasi tas saya dalam salah satu rumah Kompleks Grha Wiyata Yuddha, Seskoad Bandung.
Editor: Hasanudin Aco
Beliau nampak sangat terkejut, “Pak Yani juga?” Dan Pak Umar memberitahukan kepada saya, bahwa juga terhadap Pak Nas ada usaha penculikan dan bahwa Adik, putri beliau ditembak oleh gerombolan itu.
Kini saya yang ganti terkejut. Saya teringat akan gadis kecil itu, bagaimana ia mondar-mandir di dalam rumah jika kami menghadap Pak Nas.
Ketika itu Pak Umar secara berturut-turut menerima laporan mengenai peristiwa-peristiwa di pelbagai tempat di ibukota.
Setelah menerima laporan, bahwa ada pasukan-pasukan berseragam loreng berjaga-jaga di sekitar Tugu Nasional, Medan Merdeka, beliau pergi menuju ke sana dengan berkendaraan Gaz komando.
Sebelumnya beliau memberikan perintah kepada suatu unit panser untuk mengadakan pencegatan di jalan keluar kota Jakarta.
Satu truk penuh anggota Polisi Militer yang datang, juga menerima perintah. Beberapa orang di antara mereka turun dan berjaga di rumah Pak Nas, demikian pula sebuah Saracen (kendaraan panser).
Tak lama kemudian, ketika saya berbicara dengan Inspektur (sekaran Komisaris) Polisi Hamdan, salah satu ajudan Pak Nas, datanglah seorang perwira KKO Angkatan Laut beserta satu truk pasukan.
Ia melaporkan, bahwa Ibu Nas ketika menuju ke RSPAD dengan Adik yang luka berat, telah singgah sebentar untuk minta bala bantuan. Mereka kemudian ikut pula berjaga di depan rumah.
Inspektur Hamdan menceriterakan kepada saya kejadian yang dialami dan didengarnya di rumah Pak Nas. Bagaimana para teroris itu menyerbu ke rumah setelah melucuti pengawal dalam suatu penadakan.
Bagaimana mereka kemudian menembak-nembak di dalam rumah, sehingga Adik Irma Suryani kena. Pak Nas sendiri dapat menghindarkan diri dan belum diketahui di mana sekarang berada.
Ibu Nas kemudian segera berangkat menuju ke RSPAD membawa Adik yang menderita luka berat. Dalam pada itu Letnan Pierre Tendean, ajudan Pak Nas juga, seorang lagi telah disekap oleh gerombolan itu tatkala ia keluar dari pavilyun rumah untuk melihat apa yang terjadi di luar.
Pada jam 07.15 Radio Republik Indonesia menyiarkan pengumuman dari “Gerakan 30 September” yang kemudian oleh Brigjen Sugandhi diberi julukan “Gestapu”, dan karena kemudian ternyata didalangi oleh PKI, diberi nama Gestapu/PKI.
Kami yang berkumpul di rumah Pak Nas, sependapat, bahwa yang mengeluarkan pengumuman itu pastilah mereka yang hendak mengadakan perebutan kekuasaan, tetapi di antara kami belum ada yang menduga, siapa yang ada di belakangnya. Setelah mendengar berita yang tidak menyenangkan itu, Inspektur Hamdan mengatakan, bahwa Pak Nas telah berada di tempat yang aman.
Kemudian saya mengetahui, bahwa yang membawa beliau adalah Letkol (sekarang Kolonel) Hidayat Wirasonjaya, Komandan Detasemen Markas SAB, Mayor (sekarang Letkol) Sumargono, ajudan senior dan ipar beliau Bob Gondokusumo.
Baru kemudian setelah perwira-perwira tinggi SAB datang, seperti Brigjen (sekarang Mayjen) Maryadi dan Brigjen Magenda, dari mereka kami mendengar analisa, bahwa menurut perkembangan situasi yang diketahui oleh mereka, kiranya yang mendalangi Gestapu adalah PKI.
Perwira tinggi SAB yang pertama kali tiba di Jalan Teuku Umar 40 adalah Laksamana Muda (Laut) O.B. Syaaf, pada waktu itu Deputi I Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Beliau datang sendiri menyetir mobilnya. Dengan beliaulah saya masuk ke dalam rumah Pak Nas. Di dalam gang di depan kamar tidur Pak Nas kami lihat kelongsong-kelongsong senjata otomatis ringan.
Pintu kamar tidur itu sendiri robek berlubang pada bagian agak ke atas, bekas kena tembakan.
Kamar tidur Pak Nas masih dalam keadaan ketika ditinggalkan oleh Pak Nas dan Ibu Nas. Dan terlintas dalam pikiran saya, bahwa reputasi Pak Nas sebagai perwira tinggi yang sederhana cara hidupnya memang sesuai dengan kenyataan yang saya lihat dalam kamar tidur beliau.
Dalam kamar tidur di belakang kamar tidur Pak Nas kami lihat darah berceceran di lantai. Jejak-jejak darah itu menuju ke luar, ke serambi belakang, dan menuju kamar mandi.
Ya Allah, pikir saya pada waktu itu, betapa banyaknya si Adik kecil itu kehilangan darah. Kini, tiga tahun sesudah peristiwa itu, masih segar tergambar dalam ingatan saya, darah yang masih merah berceceran di lantai.
Ketika matahari telah terang, kami mendengar kabar, bahwa Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad memimpin operasi untuk menumpas pemberontakan yang telah terjadi itu.
Seharian itu saya beserta banyak perwira SAB tetap stand by di rumah Pak Nas. Malam harinya dikeluarkan perintah konsinyasi bagi anggota SAB.
Malam itu saya tetap di tempat, setelah memberitahukan kepada keluarga, bahwa saya tidak apa-apa.
Keesokan harinya, Pak Harto telah mematahkan kekuatan Gestapu/PKI di seluruh Jakarta Raya.
(Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1968).
Artikel ini telah tayang di Intisari dengan judul: Kesaksian Nugroho Notosusanto, Penulis Film G30S/PKI yang ‘Menyaksikan’ Penembakan di Rumah Jenderal Yani