Pemerintah Pertanyakan Legal Standing Pemohon yang Ajukan Uji Materi UU Pemilu
Tjahjo menilai, legal standing pemohon diatur dalam Pasal 51 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah yang diwakilkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo memberikan penjelasan atas empat perkara pengujian materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sebelum dimulainya pemberian penjelasan, Tjahjo meminta kepada majelis hakim untuk memeriksa kedudukan hukum para pihak yang melakukan uji materi UU Pemilu.
"Pemerintah memohon kepada yang mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak," kata Tjahjo di Gedung MK, Jakarta, Senin (25/9/2017).
Baca: Jonru Ginting Tak Penuhi Panggilan Penyidik Polda Metro Jaya
Tjahjo menilai, legal standing pemohon diatur dalam Pasal 51 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
"Sebagaimana telah diubah terakhir UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 24Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi," tuturnya.
Ada empat perkara uji materi yang dijawab oleh pemerintah terkait UU Pemilu. Adapun empat perkara yang dibahas pada persidangan ini adalah yang teregistrasi dengan nomor 59/PUU-XV/2017, 60/PUU-XV/2017, 61/PUU-XV/2017 dan 62/PUu-XV/2017.
Baca: Fadli Zon Duga Jokowi Tolak Ikut Campur Pansus KPK Karena Dianggap Bola Panas
Perkara 59/PUU-XV/2017 diajukan oleh Effendi Gazali yang mempersoalkan Pasal 222 UU Pemilu karena persyaratan parpol yang diperbolehkan mengusulkan pasangan calon adalah yang memperoleh 25 persen suara pada Pileg sebelumnya.
Menurut Pemohon persyaratan tersebut merupakan tindakan memanipulasi hak pilih warga negara.
Untuk perkara 60/PUU-XV/2017 diajukan oleh Ketua Umum dan Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSi) yaitu Grace Natalie dan Raja Juli Antoni.
Keduanya mempermasalahkan Pasal 173 ayat (1), ayat (2) huruf e dan ayat (3) UU Pemilu yang menurut mereka bersifat tidak adil dan diskriminatif.
Sementara perkara 61/PUU-XV/201z dimohonkan oleh Kautsar dan Samsul bahri yang keberatan dengan Pasal 557 ayat (1) huruf a, huruf b, dan ayat (2) serta Pasal 571 huruf d UU Pemilu.
Baca: Politikus PDIP Minta Panglima TNI Hati-hati Berbicara
Keduanya menilai bahwa diberlakukannya UU Pemilu telah mencabut kekhusuan Aceh sebagaimana dituangkan di dalam UUPA sebagai undang-undang yang secara khusus berlaku di Aceh.
Selanjutnya perkara 62/PUU-XV/2017 diajukan oleh perwakilan Partai Perindo yaitu Hary Tanoesoedibjo dan Ahmad Rofiq yang mempermasalahkan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu..
Mereka mempermasalahkan ketentuan a quo membagi atau mengelompokan peserta Pemilu 2019 ke dalam unsur berbeda, yaitu antara partai politik peserta Pemilu 2014 dan partai politik non-peserta Pemilu 2014.