Hindari Industrial Shock, Industri Diminta Siapkan Skema Transformasi Bisnis
Hal ini penting, bukan semata karena perkembangan teknologi informasi begitu cepat, tetapi juga karena economic disruption yang terjadi dimana-mana.
Editor: Content Writer
Menaker Hanif Dhakiri meminta industri di Indonesia segera menyiapkan skema transformasi industri dari model lama ke model baru. Terutama industri-industri yang paling dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi, seperti perbankan, retail dan jasa.
Hal ini penting, bukan semata karena perkembangan teknologi informasi begitu cepat, tetapi juga karena economic disruption yang terjadi dimana-mana.
"Perkembangan teknologi informasi dan economic disruption harus segera direspon oleh industri dengan menyiapkan skema transformasi proses bisnis dari model lama ke model baru. Dengan skema transformasi itu, industri kita akan lebih kompetitif, dan dari sisi ketenagakerjaan bisa segera diantisipasi dampak-dampaknya", kata Hanif Dhakiri dalam acara Musyawarah Nasional Serikat Pekerja Bank Negara Indonesia (SP-BNI), di Bandung, Rabu (11/10/2017).
Menurut Hanif, kelambatan industri mengantisipasi perkembangan bisa menimbulkan industrial shock (goncangan industrial), yang mencakup goncangan bisnis (business shock) dan goncangan tenaga kerja (manpower shock).
Goncangan bisnis bisa membuat industri terbunuh karena kalah bersaing. Sementara goncangan tenaga kerja bisa terjadi karena pemutusan hubungan kerja (PHK) mendadak akibat digitalisasi dan otomatisasi.
Melalui transformasi industri, Hanif percaya, perubahan akan berlangsung secara bertahap dan antisipasinya bisa dilakukan semua pihak, baik pemerintah, industri itu sendiri maupun para pekerja.
Oleh karenanya Hanif meminta agar serikat pekerja dilibatkan untuk mengawal transformasi industri menuju model bisnis yang lebih baik.
"Dirembug saja ini industri mau kemana seiring perkembangan teknologi informasi yang masif dan persaingan yang makin sengit. Tahapan transformasinya seperti apa, dampaknya terhadap tenaga kerja gimana, lalu apa solusinya, dan seterusnya," ujar Menaker.
Pemerintah sendiri terus mendorong kerja sama dengan industri dan serikat pekerja dalam merespon perkembangan ekonomi global ini.
"Ini memang tugas bersama. Tak hanya bisa pemerintah, tapi juga dunia usaha dan serikat pekerja. Semua harus terlibat aktif dan mencari pendekatan yang win-win. Tanpa itu masalah ketenagakerjaan kita akan mandeg, gitu-gitu saja," jelasnya.
Menaker Hanif mengaku khawatir perkembangan teknologi informasi bisa menggerus pekerjaan lama, walaupun perkembangan itu juga menciptakan peluang dan pekerjaan baru.
Dari sisi kesempatan kerja, kata Menaker, kebutuhan meningkatkan jumlah dan kualitas sumber daya manusia (SDM) semakin mendesak.
Jika model bisnis industri berubah, maka karakter pekerjaan berubah, skill yang dibutuhkan juga berubah. Input SDM baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan kerja juga harus berubah.
Dari sisi perlindungan tenaga kerja, hubungan kerja dalam industri dengan model bisnis yang baru harus makin diperjelas.
"Jangan sampai tenaga kerja didzolimi dengan model hubungan yang absurd dan merugikan mereka," tegasnya.
Dalam rangka mempercepat peningkatan skill dan kompetensi tenaga kerja, Kemnaker telah bekerja sama dengan Kadin dan kalangan industri menggenjot penguatan akses dan mutu pelatihan kerja (vocational training dan retraining).
Diantaranya melalui program pemagangan nasional yang pada tahun 2018 ditargetkan sebesar 400.000 orang atau sekitar 20 persen dari total angkatan kerja baru yang sekitar dua juta orang.
Reorientasi, revitalisasi dan rebranding Balai Latihan Kerja (BLK) juga dilakukan untuk mengangkat citra pelatihan vokasi yang sering dianggap second class, sekaligus memastikan pelatihan vokasi berjalan secara fokus, masif dan berkualitas.
"Akses dan mutu vocational training dan retraining harus diperkuat, sehingga calon pekerja dan pekerja dapat terus meningkatkan skill dan kompetensinya dimanapun mereka berada melalui pelatihan kerja berkualitas. Penyelenggara training dan retrainingnya bisa pemerintah, swasta, masyarakat atau kerja sama semua pihak," kata Kemnaker menindak-lanjuti arahan Presiden Jokowi.
Di luar itu, pemerintah juga sedang mengkaji kemungkinan adanya kebijakan sosial untuk mendukung akses dan mutu vocational training dan retraining.
Menurut Hanif, kebijakan sosial itu dapat berupa training investment fund/skills development fund (TIF/SDF) guna mengatasi pembiayaan pelatihan vokasi, dan unemployment benefit (dana cadangan pesangon) untuk program bantalan sosial bagi korban PHK.
"Jika akses dan mutu vocational training dan retrainingnya kuat, lalu didukung dengan kebijakan sosial seperti skills development fund dan unemployment benefit, maka orang Indonesia akan dapat kesempatan peningkatan skill seumur hidup (lifelong education) dan kemampuan bekerja sampai pensiun (lifelong employability)," pungkasnya. (*)