MK Tolak Permohonan Tatang Penjual Cobek yang Mempekerjakan Bocah
Dia sempat ditahan sembilan bulan karena mempekerjakan anak di bawah umur.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tajudin bin Tatang Rusmana harus gigit jari menyusul permohonan uji materi terkait ketentuan eksploitasi orang yang diajukan di Mahkamah Konstitusi ditolak.
Tajudin adalah penjual cobek asal Desa Jaya Mekar, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Dia sempat ditahan sembilan bulan karena mempekerjakan anak di bawah umur.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menilai pokok permohonan Tajudin tidak beralasan menurut hukum.
"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (10/19/2017).
Baca: Kapolri Imbau Anggotanya yang Ikut Pilkada 2018 Mengundurkan Diri
Dalam permohonannya, Tajudin menggugat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang terhadap UUD 1945.
Pasal tersebut berbunyi Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Menurut Tajudin, pasal a quo bertentangan terhadap UUD 1945 sepanjang frasa 'mengeksploitasi' tersebut belum dimaknai sebagai suatu perbuatan dalam rangka mendidik, melatih membantu orang tua dan memfasilitasi perekonomian keluarga, penanaman nilai-nilai kemandirian pada diri anak.
Terkait dalil tersebut, Mahkamah berpendapat tidak masuk akal. Secara literal pun 'eksploitasi' tidak mungkin diberi makna demikian karena akan timbul pertentangan dalam satu pengertian (contradictio in terminis).
Mahkamah juga tidak sependapat dalil pemohon yang mendalilkan dalam kaitannya dengan pengertian 'ekploitasi' sifat melawan hukum yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 21/2007 harus diartikan sifat melawan hukum formil dan materiil.
Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon telah mencampuradukkan pengertian sifat melawan hukum dengan jenis-jenis delik sehingga terjadi kekacauan penalaran dalam memahami pengertian sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil di satu pihak dan pengertian delik formil dan delik materiil di pihak lain.
Mahkamah juga menolak dua dalil lain yang diajukan oleh Tajudin. Dalil tersebut adalah mendalilkan Pasal a quo bertentangan terhadap asas lex superiori derogat inferiori (sic!) yaitu menyalahi ketentuan pidana umum dalam KUHP dengan argumentasi bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 21/2007 telah membuat norma baru.
Kemudian dalil Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan' dan dalil-dalil lainnya. Terhadap dalil-dalil tersebut, seluruhnya ditolak oleh Mahkamah.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata majelis hakim.
Sekadar informasi, Tajudin ditangkap pada April 2016 di sebuah rumah kontrakan atas dugaan eksploitasi anak.
Rumah itu ditinggali Tajudin bersama tujuh remaja dari kampungnya. Dua di antaranya berusia 14 dan 15 tahun. Setiap hari, mereka berkeliling kota menjajakan cobek yang dibawa dari kampung.
Dia sempat ditahan selama sembilan bulan dan akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Tangerang.