Soal Dokumen 1965, Menhan: Itu Bisa Benar Bisa Tidak, Pelakunya Sudah Kakek-kakek
"Ya itu bisa benar bisa tidak (isi dokumennya), tapi kan soal enam lima, kan sudah kakek-kakek (pelakunya). Sudah, tidak usah dihitung-hitung lagi"
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dokumen-dokumen yang dipublikasikan pemerintah Amerika Serikat (AS), terkait peristiwa 1965 dan pembunuhan masal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak bisa menjadi hal yang bisa langsung dipercaya, menurut Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu.
"Ya itu bisa benar bisa tidak (isi dokumennya), tapi kan soal (peristiwa) enam lima, kan sudah kakek-kakek (pelakunya). Sudah, tidak usah dihitung-hitung lagi itu, jadi pelajaran buat kita," ujarnya kepada wartawan di Pudiklat Bahasa, Kementerian Pertahanan, Jakarta Selatan, Rabu (18/10/2017).
Ryamizard Ryacudu yang merupakan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) itu menyebut ia akan langsung menanyakan dokumen-dokumen itu, langsung ke Menhan AS, James Mattis. Kebetulan ia memang diagendakan untuk bertemu James Mattis di Filipina pekan depan.
"Kebetulan, nanti minggu depan saya ketemu dengan Menhan Amerika di Filipina, saya akan bicara, benar tidak tuh," katanya.
Baca: Yuki Kato Udah Terlalu Lama dengan Kejombloannya, Sampai Basi dan Lumutan
Baca: Ketua DPRD Kolaka Utara Tewas dengan Pisau Menancap di Perut
Dokumen-dokumen tersebut dipublikasikan pemerintah AS, antara lain karena kebijakan mereka untuk mempublikasikan dokumen-dokumen rahasia, untuk kurun waktu tertentu. Tahun ini, dokumen terkait peristiwa 65 dipbulikasikan, yang antara lain berbentuk surat dari perwakilan pemerintah AS di Indonesia, untuk washington.
Dalam dokumen yang dipublikasikan, tertulis keterliatan TNI Angkatan Darat (AD) terhadap pembunuhan masal, dan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, termasuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan PP. Muhamadiyah.
Bagaimana pemerintah Indonesia menyikapi dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh pemerintah AS itu, Ryamizard Ryacudu menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang "basa saja," yang tidak perlu membuat semua pihak panik.
"Biasa-biasa saja, kenapa, kebakaran jenggot ?" ujarnya.
"Kita kadang-kadang kebakaran jenggot, (walaupun) tidak perlu, biasa-biasa saja, aman-aman saja," katanya.