Skema Pengadaan dan Distribusi Obat Program JKN Perlu Ditata Ulang
Permasalahan seputar pengadaan dan distribusi obat dalam program JKN menimbulkan persepsi publik bahwa kualitas program itu rendah
Penulis: Eko Sutriyanto
Adanya transparensi dalam sistim pengadaan harga patokan sendiri, Formularium Nasional dan perlunya fairness dalam kepesertaan – pengadaan terbuka untuk yang memenuhi syarat tanpa ada pre-seleksi.
Di sisi lain, seleksi pemenang tidak hanya berdasarkan harga terendah (multi-criteria) dan penetapan lebih dari satu pemenang untuk tiap daerah serta penggunaan metoda Pharmaco Economy dan Health Technology Assessment (HTA) dalam sistim pengadaan agar obat-obatan inovatif dapat tersedia.
Dalam jangka panjang perlu disesuaikan kembali regulasi (Undang Undang dan Peraturan) agar tujuan JKN dapat tercapai, juga peran serta sektor swasta dalam pelayanan kesehatan (multi-payor system) dengan mengembangkan peta jalan (roadmap) yang mengakomodasi kemitraan swasta dan public (Public Private Partnership) dalam meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan serta keahliannya.
"Pemerintah juga perlu memastikan tersedianya dan akses obat yang sesuai standar untuk pengobatan penyakit kronis seperti kanker, transplantasi, dll termasuk pengobatan dan terapi terkini," sambungnya.
Untuk mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan, perlu dipertimbangkan sistem pembayaran bersama (co-payment).
Juga melibatkan asuransi kesehatan swasta untuk yang mampu, agar pemerintah dapat fokus dalam membantu yang miskin.
Saat ini skema pengadaan obat JKN dilakukan dengan kebijakan dari Kementerian Kesehatan dan proses pengadaan lelang sistem e-catalagoue dilakukan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Skema pengadaan obat dimulai dari penetapan daftar obat yang dibutuhkan (formularium nasional), dibuatnya rencana kebutuhan obat (RKO), proses lelang di LKPP kemudian diumumkan pemenangnya dalam daftar e-catalagoue. Fasilitas kesehatan (faskes) di semua daerah, termasuk klinik, puskesmas, rumah sakit kemudian melakukan pembelian melalui e-procurement ke perusahaan farmasi.
Luthfi mengatakan, permasalahan obat saat ini bukan hanya masalah pengadaan, tetapi yang sangat krusial saat ini adalah masalah distribusi obat.
“Kasus ditemukannya obat keras ilegal baru-baru ini, terus-menerusnya ditemukan obat palsu yang merugikan dan membahayakan pasien, merupakan alarm bagi kita semua,” katanya.
Ditambah lagi, lanjut dia, tidak jelasnya cara pengiriman dan distribusi obat-obatan, baik yang merupakan obat resep atau obat bebas, dari transaksi on-line.
Setiap orang bisa membeli obat-obatan yang seharusnya menggunakan resep dokter dibeberapa laman on-line, tidak mendapatkan informasi yang tepat tentang dosis dan penggunaannya.
“Dan yang paling miris adalah apakah pengiriman obat ke pemesan menggunakan tata cara distribusi obat sesuai dengan aturan BPOM atau tidak,” ucapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.