Masyarakat Papua Tidak Boleh Diperlakukan Sebagai Warga Negara Kelas Dua
Permasalahan kelompok bersenjata yang menginginkan Papua merdeka, sudah puluhan tahun tidak kunjung kelar.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Permasalahan kelompok bersenjata yang menginginkan Papua merdeka, sudah puluhan tahun tidak kunjung kelar.
Analis Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menyebut hal itu karena permasalahan pokok di Papua belum juga kunjung terselesaikan.
Baca: KSAL Tutup Dikreg Seskoal Angkatan 55
Kepada wartawan di kantor LIPI, Jakarta Selatan, Rabu (8/11/2017), ia menyebut permasalahan pokok di Papua adalah perlakuan pemerintah.
Hal itu menyebabkan permasalahan kesenjangan di Papua belum juga rampung, dan mereka merasa diperlakukan tidak sama seperti warga negara lainnya.
"Selama masalah itu belum terpecahkan, mereka akan mempermasalahkan hal yang sama, disintegrasi," katanya.
Menuntaskan permasalahan kesejahteraan di Papua, tidak semudah menyelesaikan masalah serupa di tempat lain.
Cara untuk memberdayakan masyarakat Papua, juga harus dipikirkan, sehingga mereka bisa menerima, dan tidak merasa dikasihani. Hal itu menurut Adriana Elisabeth, belum maskimal dilakukan pemerintah.
"Jadi harus ditanya juga ke mereka, bagaimana carannya (membangun Papua)," ujarnya.
"Masyarakat Papua itu tidak anti TNI, tidak anti Polisi, mereka juga tidak anti investasi. Mereka tidak mau diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, mereka tidak suka, itu wajar," terangnya.
Selama ini, karena kebutuhan-kebutuhan mereka tidak terpenuhi, sebagian dari mereka memilih untuk protes dengan mengekspresikan keinginan mereka untuk lepas dari pangkuan ibu pertiwi.
Mereka juga meminta bantuan dari masyarakat internasional terkait hal tersebut.
"Masa seperti ini terus. Maka LIPI menyarankan dialog, kelompok (pendukung) ideologi (Papua Merdeka) pasti ada, tapi passti yang lain bisa diajak bicara," terangnya.