Undang-Undang Ormas Tidak Maksimal Antisipasi Aksi Terorisme
Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2013 tentang ormas tidak bisa maksimal dalam rangka mengantisipasi aksi teror.
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2013 tentang ormas tidak bisa maksimal dalam rangka mengantisipasi aksi teror.
Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakkir, mengatakan kecenderungan aksi teror belakangan ini dilakukan pelaku tunggal atau 'lone wolf.'
Sampai saat ini, penegak hukum di Indonesia belum bisa membuktikan keterkaitan pelaku dengan ormas-ormas tertentu.
Baca: Relawan Jokowi yang Melahirkan di Asrama Haji Sudah Tinggalkan Rumah Sakit
"Meskipun saya sepakat dengan undang-undang ormas, tapi saya pesimis," kata Amin dalam diskusi di kantor LIPI, Jakarta Selatan, Rabu (8/11/2017).
Walaupun demikian, ia mengakui ada organisasi-organisasi tertentu yang dianggap berafiliasi dengan kelompok teror.
"Hal yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di luar negeri," katanya.
Namun untuk menindak ormas-ormas radikal, aturan tersebut bisa dianggap efektif.
Baca: Megawati Soekarnoputri Dilaporkan Ulama Pamekasan ke Polisi
Bagi Presiden Joko Widodo, menurut Amin Mudzakkir, aturan tersebut bisa menjaga stabilitas negara dan melindungi konstituen-konstituen dari Presiden.
Sebelumnya dalam UU ormas diatur mekanisme pembubaran ormas, dilakukan setelah ada putusan pengadilan.
Namun, Juli lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang antara lain berisi pemangkasan mekanisme pembubaran ormas.
Baca: Majelis Kehormatan Ingatkan Kader Gerindra Agar Tidak Terlibat Narkoba dan Korupsi
Melalui perppu yang sudah disetujui DPR untuk disahkan itu, kementerian terkait bisa mencabut keabsahan ormas tanpa putusan pengadilan.
Ormas pertama yang menjadi korban UU tersebut adalah Hibut Tahrir Indonesia (HTI).
Ormas tersebut dianggap mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain karena mengusung gagasan khilafah atau kepemimpinan Islam.