Pimpinan DPR Nilai Kriteria Aliran Kepercayaan Harus Diperjelas
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menyarankan Komisi VIII DPR memanggil pihak-pihak terkait untuk memperjelas kriteria aliran kepercayaan.
Editor: Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menyarankan Komisi VIII DPR memanggil pihak-pihak terkait untuk memperjelas kriteria aliran kepercayaan.
Hal itu menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan penganut aliran kepercayaan masuk dalam kolom agama di Kartu Tanda Penduduk.
"Kriteria kepercayaan agama harus diperjelas, apalagi teman-teman Komisi VIII DPR harus tindak lanjut klarifikasi ke MK," kata Taufik dalam keterangan tertulis, Kamis (9/11/2017).
Baca: PKB Nilai Indonesia Butuh Cawapres yang Paham Islam Transformatif
Taufik menilai pengertian aliran kepercayaan tidak boleh sampai melahirkan agama baru sehingga harus diperjelas pengertiannya sesuai dengan konteks Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Waketum PAN itu mencontohkan ajaran yang sudah dilarang dan tidak diperbolehkan serta sudah menjadi keputusan pengadilan, tentu tidak boleh masuk dalam aliran kepercayaan.
"Kriteria kepercayaan juga harus ada rapat antara Kemendiknas karena kepercayaan selama ini di bawah naungan Kemendiknas dengan Kementrian agama. Jadi harus ada rapat antara Komisi VIII, Kemendiknas, Kemenag dan MK terkait koridor-koridor kepercayaan itu apa saja," ujarnya.
Taufik mengatakan jangan sampai posisi ratusan aliran kepercayaan harus diperjelas dalam redaksional aturannya agar tidak ada kontroversi di masyarakat.
Menurut dia, teknis penulisan aliran kepercayaan di KTP Elektronik harus ada perubahan dengan payung hukumnya karena belum ada identitas di luar agama yang sah dan diakui negara.
"Teknis penulisan di KTP Elektronik pun harus ada perubahan payung hukum karena selama ini belum ada identitas diluar agama yang sah dan diakui oleh negara," ujarnya.
Baca: Bareskrim Luncurkan E-Penyidikan Permudah Pemantauan Kasus
Namun Taufik belum bisa berpendapat apakah perubahan payung hukum itu dilakukan dengan merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan atau hanya membentuk Peraturan Pemerintah (PP).
Menurut dia langkah perubahan payung hukum itu dilakukan setelah ada kesepakatan pembahasan teknis dari aspek substansinya.
"Misalkan menurut teman-teman fraksi di Komisi VIII hanya cukup peraturan pemerintah saja, itu berarti ada kesepakatan politik. Tapi kalau perlu harus ada esensial dan detail maka harus dilakukan revisi UU Administrasi Kependudukan sehingga ada payung hukum yang lebih kuat," katanya.
Sebelumnya, MK memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon uji materi terkait Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kata 'agama' yang ada pada Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk 'kepercayaan'.
"Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Hakim MK Arief Hidayat ketika membacakan putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).
Arief melanjutkan, majelis hakim menyatakan kata 'agama' dalam pasal 61 Ayat (1) serta pasal 64 ayat (1) UU No. 23/2006 tentang Adminduk bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".
Majelis hakim juga menyatakan pasal 61 ayat (2) dan 64 ayat (5) bertentangan dengan UUD'45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Uji materi terhadap pasal-pasal tersebut diajukan oleh empat orang pemohon, mereka adalah Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.